17 Juli 2004

Federasi Koperasi

Dalam alam demokrasi, pembentukan organisasi tandingan sama sekali bukan sebuah nista. Bahkan, barangkali, itu justru merupakan kebutuhan agar kinerja masing-masing organisasi terus terasah. Bagaimanapun keberadaan dua organisasi atau lebih bisa diharapkan melahirkan semangat persaingan konstruktif. Masing-masing pihak terpacu mengukir kinerja terbaik.

Berdasar perspektif itu pula, kita bisa memahami langkah sejumlah eksponen gerakan koperasi mendirikan Federasi Koperasi Indonesia (FPI). Wadah tersebut dideklarasikan sebagai sempalan sekaligus menjadi penyeimbang kiprah Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin).

Memang, kehadiran FPI serta-merta melahirkan kesan bahwa gerakan koperasi mengalami perpecahan. Maklum karena selama ini keberadaan Dekopin telanjur kukuh sebagai wadah yang bersifat monolistik. Di lain pihak, gagasan yang mendorong kelahiran FPI juga tak lain adalah ketidakpuasan kalangan gerakan koperasi terhadap kinerja Dekopin selama ini.

Namun, sesungguhnya, gerakan koperasi kita selama ini tak benar-benar solid bersatu. Barangkali sebagai dampak intervensi pemerintah terhadap keberadaan Dekopin di masa silam, gerakan koperasi kita telanjur terfragmentasi dalam kubu atau kelompok-kelompok tertentu.

Karena itu, perpecahan di tubuh Dekopin yang telah melahirkan FPI ini tak terlampau mengejutkan. Ibarat magma gunung berapi, perpecahan dalam gerakan koperasi sungguh sudah tak bisa dibendung lagi. Keberadaan FPI atau apa pun namanya barangkali memang sudah menjadi kebutuhan yang tak bisa ditunda-tunda lagi. FPI adalah antitesis Dekopin.

Boleh jadi, mestinya keberadaan lembaga tandingan Dekopin ini sudah tertoreh sejak lama. Yakni sejak Dekopin dirasa tak juga mampu menjadi wadah yang kohesif bagi kesatuan dan kebersamaan gerakan koperasi justru pada momen paling memungkinkan. Semangat reformasi tampaknya selama ini tak cukup kuat menjadi faktor yang membuat Dekopin tampil sebagai wadah yang mengokohkan gerakan koperasi.

Kita menduga, FPI sendiri sarat mengemban semangat pembaruan. FPI mungkin memang sudah ditekadkan sebagai antitesis Dekopin. Justru itu, kita boleh berharap bahwa semangat bersaing akan serta-merta lahir. Masing-masing pihak -- FPI maupun Dekopin -- bisa diharapkan terpacu menunjukkan diri sebagai organisasi terbaik dan bermanfaat bagi gerakan koperasi.

Itu jelas relevan dan urgen dikaitkan dengan peta masalah perkoperasian kita sekarang ini yang masih saja mengundang prihatin. Hingga setengah abad lebih ini, dunia koperasi kita belum juga kunjung mampu tampil menjadi sokoguru ekonomi nasional sebagaimana cita-cita dan amanat founding fathers kita. Dunia koperasi kita masih terpenjara dalam kondisi serba kerdil dan kurang daya.

Dalam konteks itu pula, posisi tawar dunia koperasi kita dalam pentas ekonomi nasional malah terkesan kian terpuruk. Bahkan ketika semangat ekonomi nasional banyak berpaling pada usaha menengah dan kecil (UKM) sejak reformasi bergulir, dunia koperasi kita tetap saja jalan di tempat. Dunia koperasi kita seperti tak memiliki kemampuan memanfaatkan memontum. Tengok saja tingkat penyerapan kredit perbankan oleh dunia koperasi yang relatif tak seberapa dibanding potensi, alokasi, ataupun komitmen kalangan perbankan sendiri.

Itu pula yang membuat sosok koperasi kita secara keseluruhan tetap tampil gurem. Kita belum juga bisa membangun sosok lembaga koperasi yang kokoh kuat dan fungsional menggurita sebagai sebuah entitas bisnis yang menyangga kepentingan para anggota, sekaligus memberi arti tersendiri terhadap ekonomi nasional. Kita belum memiliki lembaga koperasi seperti Rabo Bank di Jerman, misalnya.

Dalam konteks seperti itu, mestinya Dekopin tampil berperan: membukakan jalan terobosan bagi gerakan koperasi membangun diri menjadi sokoguru ekonomi. Memang, Dekopin sendiri bukan institusi pengambil kebijakan. Tapi sebagai wadah kelompok kepentingan (interest group), Dekopin seharusnya bisa mengondisikan langkah ke arah itu. Bahkan fungsi dan peran itu pula yang sejatinya melekat pada lembaga Dekopin ini.

Namun, patut diakui, kiprah Dekopin selama ini nyaris tak terdengar memberi riak signifikan bagi pemberdayaan gerakan koperasi. Barangkali itu pula yang telah kian mengkristalkan perpecahan di gerakan koperasi -- sampai akhirnya lahir FPI.

Kita amat berharap kelahiran FPI sendiri memang murni diniatkan menjadi lembaga tandingan Dekopin dalam rangka lebih memacu pemberdayaan gerakan koperasi. Jika motif dasar yang melatari pembentukan FPI ini ternyata sekadar wujud sikap menolak figur orang nomor satu di Dekopin, gerakan koperasi niscaya tak kunjung segera berdaya. Dalam konteks ini, keberadaan FPI sendiri tak menjadi antitesis bagi Dekopin -- dan karena itu pembentukan FPI pun menjadi tidak relevan.***
Jakarta, 17 Juli 2004

Tidak ada komentar: