23 Juli 2004

Larangan Impor Beras (2)

Pemerintah memutuskan larangan impor beras diperpanjang hingga akhir Agustus 2004. Ini perpanjangan kedua yang berlaku selama Juli 2004, setelah kebijakan menutup kran impor beras periode pertama selama Januari-Juni 2004 berakhir.

Langkah perpanjangan itu sendiri bijak -- karena stok beras di dalam negeri relatif memadai. Maklum karena produksi padi nasional tahun ini menunjukkan gambaran melegakan. Para pejabat Deptan menyatakan optimis bahwa tahun ini produksi padi di dalam negeri bisa mencapai sekitar 53 juta ton. Angka ramalan II Badan Pusat Statistik (BPS) sendiri mengenai produksi padi nasional pada tahun ini adalah 53,7 juta ton.

Dengan produksi padi sebanyak itu, kebutuhan akan beras di dalam negeri bisa tercukupi. Bahkan dengan menimbang tingkat konsumsi rata-rata beras penduduk kita sekarang, Mentan Bungaran Saragih menyebutkan bahwa produksi beras tahun ini bisa surplus sekitar 2 juta ton. Justru itu, impor beras sama sekali tidak relevan.

Karena itu pula, larangan impor beras mungkin seharusnya tidak cukup sampai akhir Agustus 2004, melainkan paling tidak hingga akhir tahun. Bahkan jika produksi padi pada musim panen ke depan ini ternyata terus-menerus bagus, kran impor beras boleh jadi ditutup terus.

Namun lepas dari pengandaian seperti itu, keputusan pemerintah memperpanjang larangan impor beras hingga akhir Agustus 2004 -- di tengah tren produksi padi nasional yang cenderung baik sekarang ini -- sungguh bijak. Kita katakan bijak, karena keputusan itu menunjukkan konsistensi keinginan baik pemerintah melindungi kepentingan petani di dalam negeri: menjaga harga gabah, terutama pada musim panen raya, tidak tertekan jeblok.

Tetapi, jujur saja, kebijakan menutup kran impor beras ini tak sepenuhnya efektif. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa harga gabah di tingkat petani tetap saja cenderung tertekan di level yang tidak menguntungkan. Bahkan di beberapa daerah yang menjadi lumbung pangan nasional, harga gabah terpuruk sampai jauh di bawah patokan harga pembelian pemerintah sebesar Rp 1.230 per kg.

Jelas, itu menunjukkan adanya sesuatu yang tidak beres. Kita menduga, itu antara lain merujuk pada masalah mutu gabah di tingkat petani yang tidak memenuhi syarat. Entah itu menyangkut kadar air ataupun tingkat pecahan beras (broken) yang terbilang tinggi.

Risiko seperti itu, memang, acap tak bisa dihindari petani. Maklum karena penanganan pascapanen yang mereka lakukan masih teramat sederhana dan tidak efisien. Kalangan petani kita tidak memiliki sarana penjemuran atau gudang yang memadai. Ditambah desakan kebutuhan ekonomi, mereka juga hampir selalu terburu-buru menjual gabah -- meski secara kualitatif hasil panen mereka masih menuntut penanganan.

Akibatnya, itu tadi, saat dijual, kadar air atau tingkat pecahan beras yang mereka hasilkan terbilang tinggi. Itu yang membuat mereka sulit menikmati harga gabah relatif memadai atau paling tidak mampu menjangkau patokan harga pembelian pemerintah.

Dalam kondisi seperti itu, di lain pihak beras impor ternyata tetap mengalir deras. Tentu itu bukan beras yang masuk melalui jalur resmi. Karena jalur resmi untuk sementara ditutup, jelas beras impor itu merupakan produk selundupan. Menurut sinyalemen Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Siswono Judohusudo, selama Januari-Mei 2004 saja penyelundupan beras ke Indonesia ini mencapai sekitar 1,25 juta ton.

Walhasil, tampaknya, larangan impor beras sebagaimana tertuang dalam SK Menperindag Nomor 9/2004 itu justru malah menyuburkan penyelundupan beras ke dalam negeri. Gilanya, tindak penyelundupan tersebut berlangsung "terang-terangan". Betapa tidak, seperti kata Siswono, karena aparat bea dan cukai ditengarai tahu masuknya beras selundupan ini. Misalnya beras ilegal itu masuk lewat pelabuhan di Sumatera Utara dengan menggunakan modus pemalsuan dokumen.

Justru itu, bagaimana mungkin harga gabah di tingkat petani tidak tetap cenderung tertekan hingga jauh di bawah harga patokan pembelian pemerintah. Dalam konteks ini, kebijakan pemerintah melarang impor beras pun jadi tak cukup ampuh.

Itu berarti, sikap bijak pemerintah memperpanjang larangan impor beras -- sebagai wujud konsistensi keinginan baik mengamankan kepentingan petani menyangkut harga gabah -- masih belum cukup. Efektivitas kebijakan tersebut, bagaimanapun, menuntut penanganan serius aspek-aspek lain yang tidak beres. Yang paling mendesak, itu tadi, penanganan penyelundupan. Ini makin urgen dan krusial karena komiditas impor yang diselunduplan ke pasar dalam negeri bukan hanya beras, melainkan juga gula, produk tekstil, dan banyak lagi.***
Jakarta, 23 Juli 2004

Tidak ada komentar: