27 Juli 2004

Gula Ilegal Kok Dilelang?

Pemerintah memutuskan akan melelang gula impor ilegal sebanyak 73.000 ton yang kini ditahan pihak Bea dan Cukai di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Keputusan tersebut tertuang dalam Keppres Nomor 58/2004 yang ditandatangani Presiden Megawati Soekarnoputri di Jakarta, kemarin, dan langsung dinyatakan berlaku sejak ditandatangani.

Penerbitan Keppres Nomor 58/2004 ini jelas merupakan tindak-lanjut rapat kabinet terbatas yang dipimpin Presiden Megawati Soekarnoputri di Istana Negara Jakarta, pekan lalu. Forum tersebut menilai opsi lelang lebih baik ketimbang beberapa opsi lain atas gula impor ilegal ini. Bahkan forum itu juga disebut-sebut sudah menggugurkan opsi reekspor dan opsi pemusnahan.

Opsi lelang dianggap lebih baik karena, konon, niscaya membuat gula impor yang mengundang heboh itu bisa bermanfaat bagi masyarakat. Dalam konteks itu, gula hasil lelang disebut-sebut bisa dijadikan stok nasional atau bisa pula langsung didistribusikan ke daerah-daerah yang membutuhkan. Menperindag Rini Soewandi sendiri, dalam kesempatan terpisah, pernah melontarkan gagasan bahwa gula impor ilegal itu memang lebih baik dijadikan stok nasional untuk wilayah khusus luar Jawa.

Terus-terang kita tak habis mengerti bahwa opsi lelang menjadi pilihan atas nasib 73.000 ton gula impor ilegal ini. Di satu sisi, pilihan tersebut seolah melegitimasi tindak penyelundupan. Di sisi lain, sejauh yang kita tahu selama ini, status gula sebanyak 73.000 ton itu menjadi ilegal antara lain karena komoditas tersebut diimpor setelah masa izin impor berlalu.

Kebijakan impor itu sendiri digariskan dalam rangka menjaga kepentingan petani tebu di dalam negeri. Dengan menutup kran impor pada saat petani di dalam negeri mulai memasuki musim panen dan musim giling, pasokan gula di pasar dalam negeri terjaga tidak berlimpah. Dengan demikian, harga gula lokal tidak terpuruk dan merugikan petani tebu.

Karena itu, opsi lelang serta-merta meruntuhkan berbagai argumentasi yang melatari kebijakan tata niaga gula sebagaimana tertuang dalam SK Menperindag Nomor 9/2002. Opsi lelang praktis menjungkirbalikkan dasar pijakan pemerintah menggelar tata niaga gula. Soal kepentingan petani tebu yang harus dilindungi, dalam konteks ini, tak lebih menjadi hanya lip service.

Betapa tidak, karena tindakan lelang berarti membukakan pintu bagi gula impor ilegal mengalir masuk ke pasar dalam negeri. Terlebih lagi gula sebanyak 73.000 ton jelas bukan jumlah yang terbilang sedikit.

Justru itu, stok atau pasokan gula nasional pun niscaya jadi melimpah -- karena di dalam negeri sendiri, sebagaimana argumentasi pemerintah selama ini dalam memberikan izin impor gula -- sekarang ini mulai berlangsung panen dan musim giling tebu. Tak bisa tidak, hukum ekonomi pun pasti segera berlaku. Pasokan berlebih niscaya menekan harga gula di dalam negeri.

Karena itu, harga gula di pasar lokal bisa terkondisi terseret turun hingga ke level yang tidak menguntungkan petani. Kalau sudah begitu, bukankah nasib atau kepentingan petani tebu ataupun industri gula nasional menjadi korban? Lalu, jika demikian, tidakkah komitmen pemerintah membela petani tebu dan industri gula lokal memang tak lebih sekadar lips service?

Jadi, bagi kita, opsi lelang gula impor ilegal sama sekali tidak memiliki relevansi -- apalagi urgensi. Opsi tersebut bahkan malah meruntuhkan segala argumentasi dan militansi pemerintah selama ini dalam menggelar tata niaga gula yang antara lain ditandai oleh penunjukan beberapa importir terbatas -- notabene kegiatan impor itu sendiri dibatasi hingga waktu tertentu sesuai tibanya masa panen dan masa giling tebu di dalam negeri.

Kita tidak tahu persis perdebatan dalam forum rapat kebinet terbatas pekan lalu hingga sampai pada opsi lelang atas 73.000 ton gula impor ilegal ini. Yang pasti, keputusan tersebut terkesan konyol -- karena serta-merta menorehkan penilaian bahwa keberpihakan pemerintah terhadap petani tebu jadi kehilangan argumen.

Lebih konyol lagi, karena opsi lelang tak mengundang perlawanan dari pihak yang paling berkepentingan. Dewan Gula Indonesia (DGI), misalnya, tenang-tenang saja. Demikian pula Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI): kali ini mereka tak menunjukkan sikap reaktif dan militan seperti biasa. Mereka seolah tak merasakan bahwa lelang gula impor ilegal adalah tindakan yang aneh, janggal, dan kontra produktif terhadap peta pergulaan nasional.

Tetapi, jangan-jangan lelang gula impor ini memang benar relevan dan urgen. Yakni berfungsi mengamankan stok gula di dalam negeri karena produksi gula nasional pada musim giling sekarang kali ini pun tak bisa diandalkan. Jadi, dengan meloloskan gula impor ilegal masuk sebagai stok nasional, harga komoditas itu pun bisa terjaga tetap stabil.

Jika itu yang menjadi pijakan dalam mengambil opsi lelang ini, satu soal lain jadi terkuak: bahwa kebijakan pergulaan nasional salah arah dan tak efektif. Bahwa produktivitas dan efisiensi industri gula kita tidak makin membaik, melainkan justru kian jeblok hingga sekian banyak gula ilegal pun sampai harus ditambahkan sebagai stok nasional.***
Jakarta, 27 Juli 2004

Tidak ada komentar: