10 Agustus 2004

Sense of Crisis

Lonjakan harga minyak mentah di pasar dunia bukan lagi berkah bagi kita. Lonjakan tersebut, yang kini sudah mencapai di atas 44 dolar AS per barel, bahkan menjadi malapetaka. Bayangkan, kenaikan harga minyak mentah ini sudah mencapai lebih dua kali lipat dibanding patokan APBN 2004 sebesar 22 dolar AS per barel.

Kalangan pengamat maupun analis berkeyakinan bahwa harga minyak mentah ini sulit diharapkan segera turun kembali. Bahkan menurut mereka, paling tidak hingga akhir tahun, harga minyak mentah justru masih terus cenderung naik. Berbagai faktor mengondisikan kecenderungan itu. Antara lain, bangkrutnya raksasa perusahaan minyak Rusia serta berlipatnya konsumsi minyak dunia sekarang ini.

Walhasil, bagi kita, kenaikan harga minyak mentah sekarang ini serta-merta menjadi malapetaka. Itu tak lain karena sekarang ini kita bukan lagi eksportir minyak. Sejak beberapa tahun terakhir, kita sudah menjadi net importer karena volume bahan bakar minyak yang harus kita impor jauh lebih tinggi daripada minyak yang kita ekspor.

Itu bisa terjadi karena tingkat konsumsi energi kita terus meningkat, sementara minyak yang kita hasilkan justru cenderung turun. Pada tahun 1999, misalnya, produksi minyak mentah kita masih berkisar antara 1,4 juta hingga 1,5 juta barel per hari. Tetapi sekarang ini, akibat investasi baru nyaris mandek, produksi minyak mentah nasional rata-rata hanya sekitar 970 ribu barel per hari -- sampai-sampai kuota yang diberikan OPEC sebesar 1,2 juta barel per hari pun tak bisa kita penuhi.

Justru itu, tak seperti di masa lalu, lonjakan harga minyak mentah di pasar dunia pun bukannya mendatangkan rezeki nomplok (windfall profit) berupa tambahan penerimaan negara. Apa yang terjadi sekarang, kita malah mengalami shutfall profit: lonjakan harga minyak mentah membuat keuangan negara jadi tekor. Itu bisa terjadi karena subsidi bahan bakar minyak dalam APBN jadi membengkak.

Pemerintah sendiri, sebagaimana diungkapkan Menteri Energi dan Suberdaya Mineral Purnomo Yusgiantoro, pekan lalu, subsidi BBM tahun ini diperkirakan membengkak menjadi Rp 35 triliun hingga Rp 40 triliun. Padahal alokasi subsidi BBM yang ditetapkan pemerintah di dalam APBN 2004 hanya Rp 14,5 triliun.

Karena itu, sulit kita pahami jika pemerintah masih saja bersikap adem-ayem -- dalam arti cenderung menganggap sepi lonjakan harga minyak mentah ini. Padahal masalah yang dihadapi amat serius. Bagaimanapun, subsidi BBM yang jadi membengkak lebih dari dua kali lipat jelas mempunyai implikasi serius terhadap keuangan negara. Persisnya, defisit APBN niscaya semakin hebat. Selama semester I/2004 saja, defisit APBN ini sudah bernilai sekitar Rp 18,55 triliun.

Defisit APBN 2004 sendiri ditargetkan sebesar Rp 24,4 triliun atau 1,2 persen produk domestik bruto (PDB). Melihat tingginya lonjakan harga minyak mentah saat ini, juga kecenderungan pergerakan komoditas tersebut hingga akhir tahun, amat boleh jadi defisit APBN 2004 ini jauh terlampaui. Terlebih jika memperhitungkan kurs rupiah yang sudah terdepresiasi cukup dalam dibanding patokan APBN 2004. Saat ini, kurs rupiah sudah berkisar di atas Rp 9.000 per dolar AS. Sementara dalam APBN 2004, patokan kurs rupiah ini sebesar Rp 6.600 per dolar AS.

Jadi, lonjakan harga minyak mentah jelas punya implikasi amat serius terhadap APBN. Paling tidak, defisit yang menjadi kian menganga lebar niscaya berpengaruh besar terhadap kemampuan pemerintah mengelola kesejahteraan rakyat. Justru itu, seharusnya, pemerintah tidak bersikap adem-ayem saja menghadapi lonjakan harga minyak mentah ini. Kita menilai, harga minyak mentah yang benar-benar menggila adalah krisis -- dan karena itu sepatutnya dihadapi dengan sikap-tindak antisipatif. Dengan demikian, krisis harga minyak bisa dihindari tak sampai melahirkan krisis keuangan pemerintah dengan segala implikasinya.

Dengan kata lain, kita amat mengharapkan pemerintah menunjukkan sense of crisis dalam menghadapi lonjakan harga minyak mentah ini. Sikap yang cenderung menganggap enteng persoalan bukan saja menggusarkan, melainkan juga menyimpan bom waktu.

Kita sendiri sama sekali bukan meragukan kemampuan pemerintah dalam menghadapi masalah. Cuma, beberapa pernyataan kalangan pejabat terkait lonjakan harga minyak sekarang ini terkesan menyederhanakan masalah. Argumen-argumen yang mereka utarakan tak cukup menenteramkan. Kita tak cukup yakin bahwa APBN akan tetap bisa terkendali, sementara kita tidak memperoleh keterangan dan penjelasan soal langkah darurat sebagai pengamanan atas dampak kenaikan abnormal harga minyak mentah dunia sekarang ini.***
Jakarta, 10 Agustus 2004

Tidak ada komentar: