13 Agustus 2004

Asumsi Harga

Subsidi bahan bakar minyak (BBM) dalam RAPBN 2005 dialokasikan sebesar Rp 21 triliun. Sangat boleh jadi, dalam tahap realisasi nanti, nilai subsidi BBM yang harus dikucurkan pemerintah malah lebih besar lagi. Maklum karena harga minyak mentah di pasar dunia cenderung tetap tinggi. Sekarang ini saja, harga minyak mentah ini sudah hampir menyentuh 50 dolar AS per barel. Di bursa berjangka New York Merchantile, akhir pekan lalu, harga minyak untuk kontrak September mencapai rekor baru sepanjang sejarah: 48,88 dolar AS per barel. Begitu juga di pasar Asia, harga minyak mentah ini semakin mendekati level 50 dolar AS per barel.

Menurut kalangan analis dan pengamat masalah perminyakan, harga minyak mentah di pasar internasional kemungkinan besar tetap bertahan di atas 45 dolar AS per barel. Mereka menunjuk beberapa faktor yang cenderung kuat melahirkan kondisi seperti itu. Antara lain kemampuan Organisasi Negara Perngekspor Minyak (OPEC) semakin kendor. Juga konsumsi minyak di Cina dan India melonjak hebat. Belum lagi raksasa produsen minyak Rusia, Yukos, terancam bangkrut. Di lain pihak, kondisi Irak tak kunjung stabil hingga berpengaruh terhadap kinerja mereka dalam memproduksi minyak. tak kunjung stabil.

Di tengah kondisi harga minyak mentah yang cenderung terkondisi tingggi itu, asumsi harga BBM dalam RAPBN justru lebih rendah. Presiden Megawati Soekarnoputri, saat menyampaikan nota keuangan dan RAPBN 2005 di hadapan sidang pleno DPR, beberapa waktu lalu, memang tak eksplisit menyebut angka tentang itu. Tapi dalam kesempatan terpisah, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro mengungkapkan bahwa patokan harga BBM dalam RAPBN 2005 adalah Rp 24 dolar AS per barel.

Angka itu jelas terlampau jauh di bawah tingkat harga minyak mentah di pasar internasional sekarang ini. Selisih harga yang tertoreh mencapai 20 dolar AS lebih. Ini amat riskan karena menyimpan bom waktu. Seperti kalangan analis dan pengamat, harga minyak di luar negeri tidak mungkin turun amat drastis. Harga minyak mentah tidak mungkin mengalami crash. Meski asumsi harga minyak dalam RAPBN adalah harga rata-rata setahun, mustahil harga 24 dolar AS per barel bisa tercapai.

Kalaupun tahun depan harga minyak mentah dunia mengalami penurunan signifikan sekalipun, itu paling-paling hanya menyentuh sampai level 35-40 dolar AS per barel. Andai benar itu yang terjadi, antara harga patokan dalam RAPBN 2005 dan harga riil di pasar menorehkan selisih tetap besar. Selisih tersebut adalah "bom" yang serta-merta meledakkan nilai subsidi BBM.

Dengan kata lain, asumsi pemerintah tentang harga minyak kemungkinan besar meleset jauh. Implikasinya pun amat serius: subsidi BBM niscaya membengkak hebat. RAPBN 2005 pun, tak bisa tidak, pasti babak-belur.

Tentang itu, Dirjen Lembaga Keuangan (Depkeu) Darmin Nasution pernah membeberkan bahwa setiap satu dolar selisih harga BBM dibanding rata-rata harga minyak mentah di pasar dunia membuat APBN tekor sekitar Rp 950 miliar. Atas dasar itu, kalau selisih harga patokan BBM dalam APBN dan harga minyak mentah dunia mencapai 20 dolar saja per barel, berarti risiko tekor yang harus ditanggung APBN bernilai sekitar Rp 19 triliun.

Itu, sekali lagi, merupakan angka tertoreh berdasar perkiraan konservatif. Justru itu, bisa dibayangkan betapa tingginya pembengkakan subsidi BBM dalam tahun anggaran mendatang ini jika harga minyak mentah ternyata terus berkibar jauh di atas 45 dolar AS.

Justru itu, langkah-langkah antisipatif mutlak harus dilakukan pemerintah. RAPBN 2005 harus dirombak. Patokan harga BBM, dalam kaitan ini, perlu diubah ke tingkat yang lebih realistis sesuai perkembangan pasar. Alokasi subsidi BBM -- jika kebijakan tersebut masih akan dipertahankan -- juga tak terkecuali harus disesuaikan.

Tentu, itu melahirkan implikasi-implikasi terhadap ekonomi nasional secara keseluruhan. Dunia usaha nasional, terutama, akan amat merasakan implikasi-implikasi tersebut. Ongkos produksi mereka niscaya membengkak. Itu, pada gilirannya berimbas terhadap daya saing produk yang mereka hasilkan. Justru itu, kinerja ekspor nasional pun hampir pasti melemah. Terlebih pasar internasional sendiri, akibat krisis harga minyak mentah ini, tak terkecuali ikut-ikutan jadi lesu darah. Karena itu, risiko kebangkrutan mungkin harus ditanggung banyak pelaku industri.

Maka tak ada pilihan lain, langkah antisipasi memang harus dilakukan komprehensif. Langkah tersebut tak cukup hanya diayunkan pemerintah. Bagaimanapun, dunia usaha nasional harus pula dilibatkan. Dengan begitu, barangkali, dampak krisis harga minyak dunia saat ini bisa diharapkan bisa dieliminasi.***
Jakarta, 13 Agustus 2004

Tidak ada komentar: