14 Agustus 2004

Kebijakan Alternatif

Pemerintah sudah memastikan bahwa subsidi pupuk belum akan dihapus. Kebijakan tersebut tetap akan digelar. Paling tidak, hingga tahun depan subsidi yang dalam praktik diberikan melalui subsidi harga gas bagi produsen pupuk itu, teroritis, masih bisa dinikmati petani. Jumlahnya juga tetap Rp 1,3 triliun.

Untuk itu, pemerintah berjanji memerbaiki sistem atau mekanisme produksi maupun distribusi pupuk bersubsidi hingga bisa tepat waktu dan tepat jumlah. Dengan demikian, krisis pupuk pada musim tanam tak lagi tertoreh seperti selama ini.

Sejauh terbukti efektif, barangkali itu lebih baik ketimbang menerapkan mekanisme penyanggaan harga gabah petani sebagaimana wacana yang sempat berkembang terkait dengan subsidi pupuk ini. Terlebih lagi, kita belum beroleh gambaran bahwa mekanisme penyanggaan harga gabah di tingkat petani bisa benar-benar efektif.

Patut diakui, memang, selama ini subsidi pupuk terasa mubazir. Betapa tidak, karena krisis pupuk hampir selalu terjadi saat musim tanam tiba. Kalangan petani padi kesulitan memeroleh pupuk. Sarana produksi tani tersebut hilang begitu saja dari pasar justru ketika mereka amat membutuhkan.

Kalaupun bisa diperoleh, harga pupuk melambung jauh di atas patokan harga eceran tertinggi yang digariskan pemerintah. Tak pelak lagi, bagi petani, kebijakan subsidi pupuk ini jadi terasa nyaris tak berguna.

Kuat dugaan, subsidi pupuk ini justru lebih banyak dinikmati pihak pabrikan dan distributor. Karena subsidi pupuk ini disalurkan dalam bentuk subsidi gas kepada pabrik pupuk, maka pihak terakhir itu kemudian bisa menghasilkan pupuk yang relatif lebih murah dari segi ongkos produksi dibanding di mancanegara. Ini yang kemudian menimbulkan moral hazard di kalangan pabrik pupuk dengan menjual produk mereka ke pasar ekspor. Dengan begitu, mereka bisa memeroleh untung jauh lebih besar. Tapi akibatnya, pasokan untuk petani padi -- notabene adalah sasaran pemberian subsidi pupuk -- menjadi berkurang.

Kenyataan itu diperparah oleh penyimpangan di tingkat distribusi. Disparitas harga pupuk untuk petani padi (bersubsidi) dan pupuk untuk perkebunan (tidak bersubsidi) lagi-lagi melahirkan moral hazard. Distribusi pupuk bersubsidi diselewengkan distributor atau pengecer ke sektor perkebunan. Maka, pasokan pupuk (bersubsidi) untuk petani padi pun jadi morat-marit. Ketika musim tanam tiba, krisis pupuk nyaris tak terhindarkan lagi.

Karena itu, kita bisa memahami pemikiran untuk mengalihkan subsidi pupuk ini langsung kepada petani. Subsidi tak lagi diberikan dalam bentuk pupuk, melainkan dialokasikan untuk pembelian gabah petani.

Memang, pengalihan subsidi niscaya membuat harga pupuk melambung sesuai harga pasar. Tapi, boleh jadi, itu bagi petani tak terlalu jadi soal. Toh selama ini pun pemberian subsidi pupuk acap tak efektif hingga mereka terpaksa membeli pupuk dengan harga mendekati pasar. Justru itu pula, pengalihan subsidi barangkali malah lebih baik karena petani tak berisiko kesulitan memeroleh pupuk saat musim tanam tiba.

Di sisi lain, pengalihan dana subsidi pupuk menjadi subsidi langsung kepada petani juga menjanjikan kemungkinan bahwa harga gabah di musim panen raya tidak jeblok lagi. Dengan memindahkan alokasi dana subsidi pupuk menjadi dana pembelian gabah, pemerintah bisa menyerap gabah pada tingkat harga tertentu yang relatif memberi keuntungan bagi petani.

Tetapi, bagaimanapun, itu masih teoritis. Perlu kita sadari pula bahwa kenyataan yang terjadi bisa lain. Belum ada jaminan bahwa harga gabah di tingkat petani pada musim panen raya tidak jeblok.

Memang, di masa lalu, Bulog pernah berperan sebagai institusi penyangga harga gabah petani ini. Terutama manakala terindikasi harga gabah petani melorot, Bulog kala itu segera turun melakukan penyerapan melalui satgas-satgas dan jajaran Dolog di berbagai daerah. Secara umum, peran tersebut acap berhasil: harga gabah di tingkat petani bisa ternagkat kembali -- minimal di sekitar harga patokan pemberlian yang dipatok pemerintah.

Apakah dalam rangka pengalihan subsidi pupuk ini Bulog perlu ditunjuk kembali melakukan fungsi penyanggaan harga gabah? Jika semata menimbang kelengkapan infrastruktur, Bulog memang paling bisa diandalkan mengemban peran itu. Dengan jaringan organisasi yang tersebar demikian luas hingga jauh ke pelosok-pelosok -- termasuk kelengkapan pergudangan -- Bulog memang amat strategis difungsikan lagi sebagai institusi penyenggaan harga gabah petani ini.

Tetapi soalnya, kelembagaan Bulog sendiri sudah berubah. Bulog bukan lagi seperti dulu yang setiap saat siap terjun melakukan penyerapan gabah petani tanpa memertimbangkan faktor untung-rugi. Karena sudah berstatus sebagai perusahaan umum, bagaimanapun kini Bulog sulit bisa diharapkan mampu optimal mengemban peran itu. Sedikit atau banyak, mereka tentu harus berhitung dalam mengemban peran penyanggaan harga gabah ini. Jika lebih banyak menorehkan kerugian, tentu mereka keberatan.

Kalaupun ditunjuk lembaga lain yang berfungsi mengemban peran itu, terus-terang kita ragu bahwa maksud tujuan utama pengalihan subsidi pupuk bisa efektif tercapai. Bukan saja peran tersebut menuntut kemampuan manajerial tersendiri, melainkan juga membutuhkan kelengkapan infrastruktur. Tanpa kedua prasyarat itu, fungsi penyanggaan harga gabah sulit diharap bisa berhasil.

Pemerintah sendiri, tampaknya, sudah melakukan langkah penjajakan menyangkut peran dan fungsi yang dulu pernah diemban Bulog. Dalam rangka mengamankan harga gabah di tingkat petani, pemerintah menunjuk sebuah BUMN -- PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) -- melakukan peran dan fungsi itu. Namun sejauh ini PPI terbukti kedodoran. Bekal pengalaman maupun kelengkapan infrastruktur mereka, tampaknya, amat tidak memadai.

Karena itu pula, keputusan pemerintah tetap menggelar kebijakan subsidi pupuk -- sepanjang konsisten diikuti dengan pembenahan mekanisme produksi dan distribusi pupuk bersubsidi -- barangkali memang lebih baik. Jika langkah tersebut sama sekali tak mengubah kecenderungan selama ini -- terjadi krisis pupuk saat musim tanam tiba -- subsidi pupuk amat beralasan dihapuskan.

Dana subsidi pupuk sendiri lebih baik dialihkan utuk perbaikan infrastruktur pertanian yang memungkinkan produktivitas dan efisiensi budidaya padi meningkat drastis, serta di sisi lain kualitas gabah yang dihasilkan pun membaik pula. Dengan demikian, harga gabah di tingkat petani bisa diharapkan tak lagi tertekan seperti selama ini.***
Jakarta, 14 September 2004

Tidak ada komentar: