07 Juli 2004

Integrasi Ekonomi ASEAN

Di tengah hiruk-pikuk putaran akhir kampanye capres, pekan lalu, sebuah berita penting nyaris luput dari perhatian kita. Berita tersebut adalah hasil konferensi menlu-menlu ASEAN yang memutuskan mendukung integrasi ekonomi ASEAN. Dalam konteks ini, para menlu negara-negara di Asia Tenggara sepakat bahwa penghapusan tarif menjadi prioritas utama ASEAN menjelang integrasi ekonomi dalam rangka realisasi Komunitas Ekonomi ASEAN (AEC) Tahun 2020.

Kesepakatan itu sendiri merupakan pembahasan lebih lanjut atas hasil Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-9 ASEAN di Bali, Oktober tahun lalu. Ketika itu, pemimpin sepuluh negara ASEAN menyepakati bahwa AEC harus sudah terbentuk paling lambat pada tahun 2020.

Walhasil, proses integrasi ekonomi ASEAN semakin niscaya. Bukan tidak mungkin, forum-forum perundingan ASEAN ke depan ini bisa memastikan bahwa Pasar Bersama ASEAN bisa segera dimulai pada 3 tahun mendatang sebagaimana impian pada pemimpin negara ASEAN.

Dalam arus besar seperti itu, kita tak bisa lagi bicara soal suka atau tidak suka. Kita juga tak lagi bisa menyatakan tidak siap. Integrasi ekonomi ASEAN sudah niscaya. Pasar Bersama ASEAN hanya soal waktu -- tinggal menunggu pembicaraan-pembicaraan lebih teknis.

Secara konseptual, integrasi ekonomi ASEAN ini tak harus ditakuti. Bahkan integrasi ekonomi ASEAN menjanjikan berkah ekonomi demikian menggiurkan: menciptakan pasar amat luas dan sangat menjanjikan. Dengan populasi penduduk yang sekarang ini saja sudah mencapai 500 juta jiwa dan nilai perdagangan 720 miliar dolar AS, ASEAN adalah sebuah pasar raksasa.

Karena itu, pasar bersama ASEAN niscaya membuat volume ataupun nilai perdagangan antarnegara ASEAN bisa meningkat berlipat-lipat. Selama ini, volume perdagangan intra-ASEAN hanya mencapai 21 persen dari total perdagangan ASEAN ke seluruh dunia. Dalam pasar bersama, volume perdagangan intra-ASEAN ini niscaya bisa meningkat menjadi 60 atau 70 persen sebagaimana dialami Uni Eropa yang telah lebih dulu mengintegrasikan ekonomi mereka.

Bagi sejumlah negara anggota ASEAN seperti Singapura, Thailand, atau Malaysia, semangat menggebu itu mungkin amat beralasan. Bahkan bagi mereka, integrasi ekonomi ASEAN tampaknya memang bukan lagi merupakan tantangan, melainkan sudah menjadi peluang yang niscaya harus bisa diraih -- karena infrastruktur ekonomi maupun pelaku bisnis mereka sudah siap bersaing.

Tapi tidak demikian bagi kita. Jujur saja, kesiapan kita menghadapi integrasi ekonomi ASEAN ini sungguh merisaukan. Infrastruktur ekonomi ataupun pelaku bisnis kita sulit bisa diandalkan mampu menghadapi persaingan. Kadin Indonesia, misalnya, pernah menyatakan bahwa sekitrar 33 persen produk yang kita hasilkan masih membutuhkan proteksi pemerintah.

Dengan kata lain, masih cukup banyak komoditas kita belum siap digiring masuk ke pasar bebas ASEAN. Dalam bahasa lugas, itu berarti bahwa kita bisa sekadar menjadi pasar. Berbeda dengan Singapura atau Hongkong, kita sepertinya terkondisi cuma menjadi tempat atau arena dagang bagi pihak lain. Kita tampaknya tidak banyak terlibat sebagai pelaku aktif dalam degup kehidupan perdagangan itu.

Tentang itu, simak indeks kapasitas produksi industri nasional memberi gambaran gamblang: terus merosot, sementara di lain pihak pertumbuhan konsumsi justru terbilang tinggi. Menurut catatan, indeks kapasitas terpakai industri kita melorot dari 51 persen pada tahun 2002 menjadi 41 persen pada tahun 2003. Di sisi lain, indeks produksi justru turun dari 109,2 pada tahun 2000 menjadi 100,3 pada tahun 2002. Padahal pertumbuhan konsumsi meningkat terus.

Itu adalah petunjuk nyata bahwa pasar domestik kita telah dikuasai barang impor. Gambaran itu kian gamblang tertoreh lewat data impor secara keseluruhan yang terus cenderung naik.

Memang, data di Badan Pusat Statistik (BPS) hampir selalu mencatat bahwa neraca perdagangan kita selama ini mampu mencatat surplus. Artinya, nilai ekspor kita relatif lebih tinggi ketimbang impor. Tapi kemungkinan besar itu bias: karena aneka produk impor yang masuk melalui jalur ilegal (selundupan) tak pernah bisa dicatat. Sementara praktik penyelundupan itu sendiri, meski terbatas mencakup produk-produk tertentu, sudah terbilang serius.

Justru itu, kita sulit mengingkari bahwa sebenarnya pasar domestik kita sudah didominasi aneka produk impor -- entah resmi ataupun ilegal. Terlebih data juga gamblang menunjukkan bahwa industri kita kini sudah tidak lagi mampu melakukan ekspansi.

Karena itu, kita merasa heran oleh sikap dan komitmen pemerintah kita selama ini dalam berbagai perundingan perdagangan bebas ini, khususnya dalam konteks integrasi ekonomi ASEAN. Kita menangkap kesan, sikap itu melupakan kenyataan riil di dalam negeri serta lebih karena keinginan menunjukkan solidaritas dan kebersamaan di lingkungan ASEAN. Menyedihkan!***
Jakarta, Juli 2004

Tidak ada komentar: