25 Juni 2004

Tak Usah Senewen

Tak usah galau atau senewen oleh kenyataan bahwa kita masih tidak dipercaya Financial Action Task Force (FATF) on Money Laundering menyangkut kesungguhan kita memberantas tindak pencucian uang (money laundering). Kita jangan salahkan keputusan FATF: bahwa kita tetap dikategorikan sebagai negara yang tak sungguh-sungguh (non-cooperative countries and territories/NCCTs) melakukan upaya pemberantasan tindak pencucian uang. Bagaimanapun, hasil pertemuan FATF di Korsel pada 14-18 Juni lalu, yang memutuskan Indonesia belum layak dicabut dari daftar NCCTs itu, tak beralasan kita bantah: karena korupsi di negeri kita memang tak kunjung reda.

Tak mengenakkan, memang. Tapi bagaimana mungkin dunia internasional bisa yakin bahwa kita serius memberantas tindak pencucian uang kalau korupsi di negara kita malah kian menggila dan berlangsung semakin terang-benderang. Jadi, selama dunia internasional bisa begitu gampang melihat atau bahkan mendapati korupsi di negeri kita, selama itu pula kita tak akan pernah bisa keluar dari status sebagai negara yang masuk kategori NCCTs.

Dari segi infrastruktur atau kelembagaan hukum, posisi kita dalam konteks pembangunan rezin antipencucian uang sebenarnya sudah lumayan bagus. Simak saja UU No 15/2002 yang notabene telah diamandemen pada tahun lalu sesuai tuntutan FATF dan keinginan kita sendiri agar kita dikeluarkan dari daftar NCCTs. Klausul-klausul dalam undang-undang tersebut begitu rinci mengatur dan memberi sanksi terhadap setiap bentuk dan tindakan pencucian uang.

Dalam UU No 15/2002, jasa keuangan dijabarkan dalam pengertian luas. Begitu juga klausul tentang pengertian transaksi keuangan yang mencurigakan. Sementara klausul tentang jumlah hasil tindak pidana tak dibatasi.

Di sisi lain, klausul tentang cakupan tindak pidana pencucian uang itu sendiri juga terbentang luas. Sedangkan jangka waktu penyampaian laporan transaksi keuangan yang mencurigakan dibuat singkat.

UU No 15/2002 juga menjamin kerahasiaan penyusunan dan penyampaian laporan transaksi keuangan yang mencurigakan kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) atau penyidik. Sementara ketentuan tentang kerja sama bantuan timbal balik di bidang hukum dibuat tegas.

Yang menarik, klausul denda minimum untuk tindak pidana pencucian uang ditetapkan Rp 100 juta, sedangkan maksimal Rp 15 miliar.

Melihat klausul-klausul seperti itu, semangat atau keinginan kita dalam membangun rezim antipencucian uang ini tak bisa dikatakan main-main. UU No 15/2002 adalah perangkat hukum hebat yang amat bisa diharapkan mampu menangkal dan menangani berbagai bentuk tindak pencucian uang.

Tetapi keputusan sidang FATF di Korsel memperpanjang status kita sebagai NCCTs bukan terletak pada soal infrastruktur hukum. Keputusan tersebut terkait dengan implementasi UU Nomor 15/2002 yang dinilai nyaris tak kelihatan. Persisnya, kita dinilai tak sungguh-sungguh menerapkan ketentuan-ketentuan tentang rezim antipencucian uang. Buktinya, korupsi masih saja merajalela.

Tentang itu, kita jelas tak bisa mengelak. Ibarat permainan catur, kita sudah dibuat skak mat oleh kenyataan tentang praktik korupsi ini. Kita sudah tak bisa sama sekali menampik bahwa kita terbebas dari korupsi. Tak heran jika beberapa lembaga pemeringkat pun menempatkan kita di urutan teratas negara korup. Itu pula, barangkali, yang menjadi pijakan FATF dalam menilai kita dalam konteks implementasi rezim antipencucian uang ini.

Praktik korupsi dan tindak pencucian uang memang saling berkaitan erat. Logikanya sederhana: bagaimana mungkin korupsi bisa tetap merajalela bila hasilnya bisa aman-aman saja disimpan dan kemudian diputar kembali seolah-olah bukan dana haram. Orang tidak dikondisikan takut atau jera melakukan korupsi karena mereka bisa leluasa dan nyaman menikmati dana hasil korupsi.

Itu suatu bukti nyata bahwa kita memperlakukan UU Nomor 15/2002 sekadar sebagai hiasan. Semangat dan komitmen kita tentang pembangunan rezim antipencucian uang sekadar basa-basi: agar berbagai aktivitas ekonomi dan bisnis kita tak dikucilkan dunia internasional.

Maka jangan salahkan kalau dunia internasional, khususnya FATF, tak bisa mempercayai kita dalam pemberantasan tindak pencucian uang ini. Memang kita tak lantas dikenai sanksi yang bisa mematikan kegiatan ekonomi bisnis counter measures. Tapi sampai kapan FATF bisa tetap toleran tentang itu? Kalau tahun-tahun mendatang kita masih saja tak mampu menunjukkan kemajuan berarti dalam konteks pemberantasan pencucian uang, bukan tidak mungkin FATF akhirnya menjatuhkan counter measures terhadap kita sebagaimana sudah dialami beberapa negara.

Kita berharap, mudah-mudahan soal itu disadari benar oleh pemerintahan baru hasil Pemilu 2004. Tentang itu, kita agak berbesar hati. Maklum karena selama kampanye pemilihan presiden, masing-masing calon menjanjikan pemberantasan KKN. Semoga janji itu kelak bukan sekadar janji gombal.***
Jakarta, 25 Juni 2004

Tidak ada komentar: