10 Juni 2004

Harapan Besar bagi Miranda

Miranda S Goeltom tampil sebagai pejabat baru Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia. Tanpa mengecilkan kapabilitas dua kandidat lain -- Budi Rochadi dan Hartadi Sarwono -- yang tersisih dalam pemungutan suara (voting) di Komisi IX DPR, Selasa malam, tampilnya Miranda di jajaran pimpinan Bank Indonesia ini menumbuhkan harapan besar menyangkut fungsi-fungsi bank sentral. Dengan diperkuat Miranda, mudah-mudahan Bank Indonesia bisa lebih handal dalam menjalankan fungsi-fungsi bank sentral itu.

Kita sadari, tantangan yang dihadapi Bank Indonesia sendiri sekarang ini sungguh berat dan makin rumit. Sebut saja kasus aktual yang sempat membuat kita cemas: depresiasi rupiah belakangan ini. Dalam tempo tak sampai sebulan sejak medio Mei lalu, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS kini sudah terdepresiasi 10 persen lebih. Dalam konteks itu, terus-terang, kita menangkap kesan bahwa Bank Indonesia keteteran.

Memang, sejak awal pekan ini, nilai tukar rupiah kembali menguat. Itu, boleh jadi, terkait dengan langkah Bank Indonesia menggelar paket kebijakan yang khusus disiapkan untuk meredam gejolak rupiah -- di samping karena Bank Indonesia mengintervensi pasar uang dengan menggerojokkan dolar AS.

Namun demikian, dibanding posisi stabil hingga awal bulan lalu di level Rp 8.500-an per dolar AS, penguatan rupiah itu belum benar-benar meyakinkan. Bahkan kita khawatir: jangan-jangan dalam hari-hari mendatang rupiah kembali terdepresiasi. Itu bukan tidak mungkin. Paling tidak, karena kemungkinan tentang itu tertoreh sebagai konsekuensi penerapan rezim devisa bebas dan sistem kurs mengambang yang kita anut. Sedikit saja berhembus sentimen negatif -- entah di dalam negeri maupun di level regional dan global --, rezim devisa bebas dan sistem kurs mengambang ini serta-merta melahirkan tekanan terhadap nilai tukar rupiah.

Tekanan itu merupakan hasil akumulasi transaksi di pasar yang mengondisikan kurs rupiah tersungkur. Sementara proses transaksi itu sendiri berlangsung semakin kompleks.
Karena itu pula, Bank Indonesia pun tak bisa membuktikan tuduhan terhadap empat bank asing yang sempat disebut-sebut melakukan spekulasi hingga membuat kurs rupiah belakangan ini tertekan hebat.

Walhasil, tantangan yang dihadapi Bank Indonesia sekarang ini -- khususnya menyangkut fungsi pengendalian moneter -- memang amat tidak ringan. Tantangan itu bahkan makin berat dan kompleks seiring perkembangan zaman yang kian mengglobal.

Dalam konteks itu pula, kita menaruh harapan besar terhadap tampilnya Miranda di jajaran pimpinan Bank Indonesia. Harapan itu tidak muluk. Miranda bukan saja pakar ekonomi-moneter, melainkan juga sudah memiliki jam terbang cukup tinggi sebagai praktisi. Kita tahu, selama lima tahun lebih Miranda pernah berkiprah di bank sentral sebagai Deputi Gubernur Bank Indonesia. Itu tentu menjadi bekal berharga bagi dia dalam mengemban tugas baru sekarang ini sebagai Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia. Dia bisa kita harapkan tidak grogi dalam menghadapi tantangan mendesak sekarang ini.

Sebagai wajah lama di Bank Indonesia, Miranda juga mungkin tak membutuhkan sosialisasi terhadap lingkungan di bank sentral kita. Dia pasti kenal betul sistem maupun kultur kerja di Bank Indonesia. Demikian pula terhadap lingkungan luar, khususnya perbankan nasional, Miranda tak perlu merasa sebagai sosok asing. Jadi, ibarat pengemudi, dalam melakoni jabatan baru di Bank Indonesia sekarang ini, Miranda tinggal tancap gas saja.

Itu jelas sangat strategis guna lebih melicinkan jalan bagi Bank Indonesia dalam melakukan fungsi-fungsi bank sentral. Misalnya saja dalam mendorong perbankan nasional agar optimal melakukan fungsi intermediasi yang boleh dibilang nyaris macet. Kita tahu, sikap dan perilaku perbankan nasional seolah mengingkari teori-teori dalam buku teks. Penurunan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) -- bahkan hingga mencapai level terendah dalam sejarah dunia keuangan kita -- ternyata tak serta-merta mendorong perbankan lebih aktif melakukan fungsi intermediasi. Padahal likuiditas mereka relatif melimpah.

Dalam konteks itu, perbankan cenderung memilih menempatkan dana mereka di instrumen finansial ketimbang disalurkan sebagai kredit. Persentase terbesar portofolio aset perbankan kita ditempatkan di sektor keuangan seperti SBI atau surat-surat berharga. Sementara penempatan dalam bentuk kredit, notabene seharusnya menjadi tugas utama bank, ternyata hanya sekitar 46 persen dari total aktiva produktif bank. Itu pun masih didominasi kredit konsumsi. Tak heran jika sektor riil pun tak kunjung bangkit.

Dengan tampilnya Miranda memperkuat pimpinan Bank Indonesia, anomali itu mungkin bisa segera berakhir. Tapi, mudah-mudahan, itu bukan sekadar harapan besar.***
Jakarta, 10 Juni 2004

Tidak ada komentar: