01 Juni 2004

Tantangan Harga Minyak

Kita gagal memanfaatkan kenaikan harga minyak mentah di pasar dunia sekarang ini sebagai kesempatan menikmati rezeki nomplok (windfall profit). Bahkan kenaikan harga minyak yang mencelat sampai di atas 40 dolar AS per barel ini -- hampir dua kali lipat dibanding patokan harga minyak dalam APBN 2004 sebesar 22 dolar AS per barel -- justru menjadi malapetaka bagi kita.

Persisnya, kenaikan harga minyak di pasar dunia membuat subsidi bahan bakar minyak (BBM) membengkak menjadi sekitar Rp 30 triliun. Padahal dalam APBN 2004, subsidi BBM ini hanya dianggarkan sebesar Rp 14,5 triliun.

Kenyataan itu mestinya tidak terjadi kalau saja produksi minyak mentah kita tidak payah. Tetapi apa mau dikata: bahkan sekadar memenuhi kuota produksi yang digariskan OPEC pun kita sudah kepayahan. Sekarang ini, produksi minyak mentah kita rata-rata hanya 0,97 juta barel per hari. Itu jauh di bawah kuota produksi sebesar 1,27 juta barel per hari.

Rendahnya produksi minyak mentah kita itu bukan baru terjadi belakangan ini. Paling tidak itu sudah tertoreh sejak lima tahun terakhir. Pada tahun 1999, kita masih mampu memproduksi 1,4 sampai 1,5 juta barel per hari. Setelah itu, produksi minyak kita ini terus cenderung menurun. Dalam konteks ini, Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu (BP) Migas Rachmat Sudibjo pernah menyatakan bahwa sejak lima tahun terakhir produksi minyak kita turun sekitar 6 persen.

Ironinya, tingkat konsumsi BBM di dalam negeri justru cenderung terus meningkat. Pada tahun 1999, tingkat konsumsi BBM kita ini mencapai 50,78 juta kiloliter (kl). Setahun kemudian, angka itu meningkat menjadi 54,82 juta kl, lalu membengkak menjadi hampir 55,90 juta kl pada tahun 2001. Tahun 2002, volume konsumsi BBM kita ini naik lagi menjadi hampir 57,80 juta kl; dan tahun lalu kian meningkat menjadi 61,03 juta kl. Sementara tahun ini diperkirakan mencapai 60,14 juta kl.

Itu pula yang mengondisikan kita sekarang ini menjadi net importer minyak. Artinya, volume minyak (mentah) yang kita ekspor lebih sedikit dibanding minyak (hasil sulingan) yang kita impor. Kita harus banyak mengimpor minyak hasil sulingan (refined) akibat kapasitas kilang minyak yang kita miliki sangat terbatas. Padahal dari segi harga, minyak sulingan jauh lebih mahal ketimbang minyak mentah. Justru itu, kita ibarat sudah jatuh masih tertimpa tangga pula.

Celakanya, malapetaka yang tertoreh sebagai dampak kenaikan harga minyak dunia ini sungguh tak bisa kita elakkan lagi. Betapa tidak! Menggenjot produksi minyak mentah memang solusi paling jitu untuk menghindari beban yang amat menyesakkan itu. Tapi, soalnya, itu tak bisa semudah membalikkan tangan. Lagi pula, selama iklim investasi tidak kondusif -- termasuk keamanan tidak terjamin --, investor tetap sulit bisa kita harapkan tergerak menggerap produksi minyak mentah kita.

Dengan kata lain, produksi minyak mentah baru bisa kita harapkan meningkat signifikan hingga ke tahap optimal tidak dalam jangka pendek ini, melainkan dalam jangka menengah -- atau bahkan mungkin jangka panjang. Tapi itu pun dengan satu catatan: bahwa pemerintah benar-benar memiliki kemauan ke arah itu dengan menggelar iklim investasi yang benar-benar kondusif. Bahkan di tengah persaingan ketat sekarang ini, iklim kondusif saja kadang masih harus ditambah dengan aspek lain. Untuk menggaet investor tergerak dan bergairah menabur modal di negeri kita -- termasuk di sektor pertambangan --, pemerintah perlu menggelar sejumlah insentif menarik.

Langkah itu masih pula perlu dibuat paralel dengan sebagai program jangka menengah: penurunan konsumsi BBM di dalam negeri. Untuk itu, pemerintah perlu melakukan upaya-upaya serius. Terus-terang, selama ini program ke arah itu amat terkesan hangat-hangat tahi ayam. Program pemasyarakatan gas sebagai energi anternatif, misalnya, kini nyaris tak terdengar lagi. Pemerintah cenderung lebih asyik menjadikan gas sebagai komoditas ekspor ketimbang membuatnya sebagai energi alternatif bagi masyarakat di dalam negeri.

Walhasil, dalam rangka mengatasi kondisi kritis terkait kenaikan harga minyak di pasar dunia, langkah yang mungkin ditempuh pemerintah sekarang ini adalah menghapuskan subsidi BBM. Langkah tersebut terasa makin beralasan karena selama ini sudah terbukti bahwa subsidi BBM tak efektif mencapai sasaran. Di mana-mana, minyak tanah untuk kelompok rumah tangga -- notabene memperoleh subsidi -- raib atau sulit diperoleh. Kuat dugaan, minyak tanah bersubsidi ini diselewengkan oknum ke pihak industri. Akibatnya, masyarakat luas -- khususnya kelompok sasaran subsidi BBM -- tetap saja harus membeli harga minyak tanah relatif mahal.

Jadi, kenapa subsidi BBM tak dihapuskan saja sekalian. Bukankan dengan demikian beban APBN menjadi berkurang secara signifikan? Tapi, tentu, bersamaan dengan penghapusan subsidi BBM ini perlu dipikirkan kompensasi bagi masyarakat miskin yang selama ini menjadi sasaran utama pemberian subsidi.***
Jakarta, 1 Juni 2004

Tidak ada komentar: