28 Mei 2004

Program Mercusuar?

Terus-terang, kita tak habis mengerti oleh keinginan pemerintah -- persisnya Departemen Keuangan -- menghapus tunggakan kredit usaha tani (KUT) tahun penyaluran 1995/1996 hingga 1999/2000 senilai Rp 7,89 triliun. Kita juga terheran-heran oleh sikap Komisi IX DPR yang konon sudah memberikan persetujuan terhadap keinginan pihak Depkeu itu.

Bahwa penghapusan tunggakan KUT ini akan meringankan beban petani, sehingga pada gilirannya mereka bisa kita harapkan lebih memiliki keberdayaan dalam menggeluti usaha tani, kita setuju. Terlebih, memang, keberdayaan petani kita nyaris di titik nadir. Jadi, penghapusan tunggakan KUT niscaya amat berarti -- dan karena itu membuat mereka bisa bernapas agak lega.

Tetapi, soalnya, penghapusan tunggakan KUT justru akan lebih menguntungkan pihak lain yang sebenarnya sama sekali tidak berhak. Hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) di 15 provinsi menunjukkan bahwa tunggakan terbesar KUT ini justru tidak berada di kalangan petani, melainkan di tangan oknum-oknum yang memanfaatkan bendera lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan koperasi. Terindikasi kuat bahwa mereka ini dulu bisa menikmati kucuran dana KUT dengan mendompleng atau bahkan memanipulasi data yang membuat mereka seolah-olah petani.

Kenyataan itu tertoreh ketika pada 1998/1999 pemerintah menggelar kebijakan mercusuar yang kental bernuansa populis: KUT dikucurkan berdasarkan mekanisme channeling. Konon itu agar petani tak lagi terkendala oleh sikap ekstra hati-hati bank dalam menyalurkan kredit. Melalui pola channeling, bank dikondisikan hanya bertindak sebagai penyalur dana pemerintah. Bank sama sekali tidak berhak menyeleksi ataupun menilai kelayakan calon penerima KUT.

Tetapi kebijakan itu justru lebih banyak dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang sama sekali tidak berhak. Ditambah mekanisme kontrol penyaluran yang amat longgar, kalangan petani sendiri terkondisi relatif sedikit menerima kucuran KUT. Tak heran jika tunggakan pihak terakhir ini, khusus untuk tahun penyaluran 1998/1999, relatif tak seberapa: hanya sekitar Rp 527,3 miliar. Sementara tunggakan di pihak-pihak yang menurut telusuran BPKP bukan petani bernilai sekitar Rp 5,76 triliun.

Karena itu, gagasan memutihkan tunggakan KUT pun serta-merta terasa tidak adil. Gagasan tersebut niscaya hanya membuat pihak-pihak yang tak berhak menikmati KUT kembali diuntungkan. Padahal, sesungguhnya, mereka justru harus dikenai tindakan hukum. Ini tidak hanya menyangkut soal pengembalian dana KUT, melainkan juga terkait manipulasi yang mereka lakukan -- mengaku-aku sebagai petani hingga mereka bisa menikmati kucuran KUT.

Atas dasar itu pula, kita bisa memahami sikap Kantor Mennegkop/UKM yang menolak keinginan pemerintah menghapus tunggakan KUT ini. Seperti dikatakan sendiri oleh Mennegkop/UKM Alimarwan Hanan, tunggakan KUT tetap akan ditagih. Alimarwan juga menyatakan bahwa pihak DPR belum memberikan persetujuan resmi terhadap gagasan pemutihan tunggakan KUT yang dilontarkan pihak Depkeu itu.

Pihak Deptan sendiri tak terkecuali menyatakan tak mendukung bila penghapusan tunggakan KUT dilakukan gebyah uyah. Bagi mereka, restrukturisasi KUT hanya relevan dilakukan terhadap mereka yang nyata-nyata merupakan pihak paling berhak, yakni petani. Sementara tunggakan di kalangan nonpetani tetap harus diselesaikan hingga tuntas.

Untuk itu, hasil audit BPKP barangkali bisa dimanfaatkan. Paling tidak, auditan tersebut bisa dijadikan panduan awal bagi pemerintah dalam menelusuri tunggakan KUT ini -- siapa saja yang benar-benar berhak dan siapa saja yang tidak. Berdasar itu pula, pemutihan tunggakan KUT -- jika itu memang dipandang relevan -- lantas bisa dilakukan selektif. Dengan demikian, langkah tersebut tak menorehkan bias yang menggugah rasa keadilan masyarakat banyak.

Tetapi benarkah penghapusan tunggakan KUT ini relevan dilakukan? Tidakkah lebih beralasan jika pemerintah menjadikan tunggakan tersebut sebagai dana bergulir bagi petani?

Jujur saja, pemutihan tunggakan KUT sebenarnya tidak mendidik. Langkah tersebut bisa menjadi disinsentif terhadap tanggung jawab petani dalam mengembalikan dana negara. Bukan tidak mungkin, langkah itu membuat petani ke depan ini cenderung abai mengembalikan pinjaman yang diberikan pemerintah. Mereka terkondisi berharap-harap atau bahkan mungkin berkeyakinan bahwa pada saatnya pemerintah mengambil keputusan memutihkan lagi tunggakan mereka.

Walhasil, menjadikan tunggakan KUT sebagai dana bergulir tampaknya lebih bermanfaat. Di samping mendidik petani dengan mengondisikan mereka harus tetap mengembalikan pinjaman, pemerintah sendiri dalam jangka panjang tak harus mengalokasikan dana terlampau besar untuk disalurkan sebagai kredit bagi petani.

Tetapi lain soal jika gagasan penghapusan tunggakan KUT ini lebih dimaksudkan sebagai program mercusuar bagi kepentingan politik pihak tertentu.***
Jakarta, 28 Mei 2004

Tidak ada komentar: