14 Mei 2004

Gejolak Kurs

Benar, gejolak kurs adalah fenomena biasa. Bukankah setiap hari kurs ataupun indeks harga saham gabungan di pasar modal selalu berfluktuasi?

Tetapi apakah perkembangan belakangan ini, yang menunjukkan kurs rupiah cenderung tertekan hingga mencapai hitungan signifikan dibanding beberapa pekan lalu, masih terbilang fenomena biasa? Terus-terang, kita justru dibuat waswas. Perkembangan kurs rupiah belakangan ini sungguh terasa tak biasa lagi. Setelah sekian lama stabil di level Rp 8.500-an per dolar, belakangan rupiah terus tertekan hingga menembus level psikologis Rp 9.000 per dolar.

Senin lalu, kurs rupiah terkunci di posisi Rp 8.940 per dolar. Sehari kemudian, rupiah lebih tertekan lagi di level Rp 8.990 per dolar. Pada Rabu lalu, memang posisi rupiah ini sedikit membaik menjadi Rp 8.957 per dolar -- konon itu karena intervensi Bank Indonesia ke pasar uang dengan menaburkan dolar AS. Sementara Kamis kemarin, rupiah kembali meleleh hingga ke level Rp 9.015 per dolar. Peningkatan peringkat utang Indonesia oleh Standard and Poor's pun ternyata tak mampu menahan depresiasi rupiah ini.

Justru itu, kita jadi teringat lagi saat puncak krisis dulu ketika kurs rupiah meleleh hingga ke level Rp 15.000-an per dolar AS. Karena itu, meski Menkeu Boediono menyatakan bahwa perasaan waswas menyangkut perkembangan kurs belakangan ini sama sekali tak beralasan, bayangan getir saat puncak krisis dulu tetap saja membayang pekat di benak kita. Apalagi indeks harga saham gabungan di Bursa Efek Jakarta (BEJ) juga sempat menunjukkan kecenderungan terus tertekan.

Di sisi lain, kita juga melihat bahwa raksasa ekonomi ekonomi AS menunjukkan gelagat segera bangkit kembali. Itu yang membuat kalangan pemilik modal tergerak merapat ke AS -- termasuk dengan menempatkan dana mereka dalam denominasi dolar AS. Ditambah ekspektasi bahwa bank sentral AS tak lama lagi menaikkan suku bunga, arus merapat ke ekonomi AS ini kian deras saja.

Itu pula yang membuat mereka yang memiliki banyak dana jadi tak merasa nyaman menggenggam rupiah. Dalam konteks ini, investor di pasar modal lokal pun berbondong-bondong mengalihkan potofolio mereka dari saham atau rupiah ke mata uang dolar AS. Bahkan, seperti diungkapkan Gubernur Bank Indonesia, beberapa bank asing ikut-ikutan memanfaatkan situasi dengan berspekulasi valuta asing di pasar uang dan kemudian dananya mereka transfer ke luar negeri.

Memang, bau spekulasi terasa pekat mewarnai sikap-tindak kalangan pemilik modal ini. Tetapi, sekali lagi, itu terkait dengan soal ekspektasi menyangkut ekonomi AS yang lebih menjanjikan kenyamanan dan keuntungan. Terlebih tingkat bunga di Indonesia kini sudah tidak menarik lagi sebagai wahana investasi. Belum lagi kondisi sosial-politik yang terasa memanas menjelang pemilihan presiden 5 Juli semakin menjadi pijakan bagi mereka yang menggenggam banyak dana untuk mengalihkan portofolio investasi mereka ke denominasi dolar AS. Sejumlah faktor lain lagi juga turut mengondisikan kecenderungan itu. Sebut saja, antara lain, rencana pemerintah mengubah kebijakan perpajakan pada transaksi jual-beli saham.

Walhasil, tampaknya, perkembangan yang menunjukkan kurs rupiah cenderung tertekan ini bukan lagi gejala biasa dan bukan pula sementara. Bagaimanapun, soal kebangkitan ekonomi AS terlampau dominan untuk kita tepiskan sebagai faktor yang cuma sesaat menekan kurs rupiah.

Karena itu, pemerintah tak cukup sekadar menyatakan bahwa masyarakat tak beralasan waswas oleh gejolak kurs maupun indeks harga saham gabungan di pasar modal belakangan ini. Apa yang lebih relevan ditunjukkan adalah memperlakukan gejolak itu bukan lagi sebagai gejala biasa dan temporer. Untuk itu, pemerintah amat dituntut segera melakukan langkah-langkah antisipatif yang bisa diandalkan mampu menahan laju depresiasi rupiah agar tak terpuruk terlampau dalam.

Dalam konteks itu, sejumlah kalangan menyebut kenaikan suku bunga sebagai salah satu alternatif yang relevan atau bahkan amat urgen dilakukan Bank Indonesia sekarang ini. Mereka berkeyakinan bahwa alternatif tersebut bisa cukup diandalkan membuat arus keluar modal (capital outflow) yang belakangan ini menggejala bisa dibendung. Dengan itu, kurs rupiah bisa pun kita harapkan terapresiasi kembali. Itu, pada gilirannya, bukan saja memungkinkan investasi dalam fortofolio di pasar modal terdongkrak kembali, melainkan juga luput menorehkan defisit APBN 2004 semakin menganga lebar.

Tapi, untuk itu, kita tak tahu sampai ke level berapa suku bunga di dalam negeri ini perlu segera didongkrak. Yang pasti, alternatif tersebut bukan berarti tak menuntut harga
mahal. Yakni kita harus rela kehilangan momentum suku bunga rendah yang hampir setahun ini tergelar nyata. Jadi, setelah nanti suku bunga ini didongkrak lagi, entah kapan kita bisa menemukan kembali momentum tersebut. Padahal momentum itu sendiri selama ini belum benar-benar bisa kita manfaatkan.***
Jakarta, 14 Mei 2004

Tidak ada komentar: