22 Mei 2004

Gonjang-ganjing

Banyak pihak memperkirakan, harga minyak mentah di pasar internasional masih akan terus membubung. Padahal sekarang saja, harga minyak mentah ini sudah terbilang tinggi: di atas 41 dolar AS per barel. Angka tersebut sudah hampir dua kali lipat patokan harga bahan bakar minyak (BBM) dalam APBN 2004 sebesar 22 dolar AS per barel.

Beberapa kalangan berani berspekulasi bahwa harga mentah ini bisa terus melaju hingga mencapai 70 dolar AS per barel. Sementara perkiraan sejumlah pihak lain lebih moderat. Menurut mereka, laju kenaikan harga minyak mentah ini kemungkinan tertahan di level 50 dolar AS per barel untuk satu periode panjang.

Tapi berapa pun angka yang kelak tertoreh sebagai level tertinggi harga minyak mentah di pasar internasional, berbagai perkiraan tadi sungguh beralasan. Secara kondisional, harga minyak sekarang ini memang cenderung naik. Ini terkait dengan lonjakan permintaan di AS dan Cina, sementara produksi minyak negara-negara yang tergabung dalam wadah OPEC relatif terbatas.

Dalam konteks itu, Badan Energi Internasional memprediksi bahwa permintaan minyak dunia bisa meningkat menjadi rata-rata 82,5 juta barel per hari. Padahal kemampuan penyulingan dunia rata-rata hanya 82,1 juta garel per hari. OPEC sendiri kini hanya mampu memasok sekitar 25,43 juta barel per hari. Angka tersebut sudah di atas kuota produksi OPEC sebanyak 23,5 juta barel per hari.

Dalam rangka berupaya membanjiri pasar, dalam waktu dekat OPEC menggelar pertemuan di Amsterdam, Balanda. Penambahan kuota produksi kemungkinan menjadi keputusan pertemuan OPEC ini. Tapi banyak pihak skeptis bahwa keputusan tersebut bisa terealisasi. Seperti yang sudah-sudah, belakangan ini penambahan kuota produksi OPEC kemungkinan tak bisa dilaksanakan -- terutama karena ladang-ladang minyak Irak belum mampu berproduksi optimal lagi.

Spekulasi mengenai krisis minyak pun semakin mengental setelah situasi keamanan dan politik di Timur Tengah -- notabene kawasan penghasil minyak -- sekarang ini cenderung memburuk. Senin lalu, misalnya, Ketua Dewan Pemerintahan Irak, Ezzedine Salim, tewas dalam serangan bom bunuh diri dengan menggunakan mobil sebagai sarana.

Di lain pihak, orang juga mengkhawatirkan sabotase terhadap infrastruktur perminyakan di Timur Tengah -- seperti telah dialami Arab Saudi -- masih mungkin terjadi lagi. Sementara kerusakan infrastruktur perminyakan di Arab Saudi sendiri belum sepenuhnya tertangani.

Walhasil, memang, kecenderungan harga minyak dunia naik terus sungguh masuk akal. Bagi kita sendiri, itu jelas merupakan pukulan berat. Memang, sebagai pengekspor minyak mentah, kita bisa menikmati rezeki nomplok (windfall profit) atas kenaikan harga minyak dunia ini. Terlebih kurs dolar terhadap rupiah kini melambung tinggi.

Tetapi, soalnya, sekarang ini kita sudah menjadi net importer minyak. Artinya, volume minyak yang kita impor lebih banyak daripada produksi di dalam negeri. Justru itu, kenaikan harga minyak dunia pun serta-merta mengakibatkan nilai subsidi bahan bakar minyak (BBM) pula membengkak pula.

Dengan kata lain, kenaikan harga minyak dunia sekarang ini hampir pasti tak membawa berkah rezeki bagi kita. Bahkan amat boleh jadi, kita malah harus menuai mudharat berupa kenaikan harga barang dan jasa. Ditambah dampak kurs rupiah yang sekarang ini melemah terhadap dolar AS, itu niscaya membuat daya saing produk ekspor kita jadi menurun. Pada gilirannya pula, itu mengondisikan dunia usaha nasional ikut-ikutan jadi lesu. Tindak pemutusan kerja pun kemungkinan merebak di mana-mana.

Kurs rupiah sendiri belum menunjukkan gelagat segera berbalik arah menjadi membaik lagi. Hingga kemarin, rupiah tertahan di level Rp 9.055 per dolar AS. Itu berarti, dalam tempo dua pekan ini, rupiah sudah terdepresiasi sekitar 7 persen. Melihat faktor determinan -- situasi global, khususnya kebangkitan ekonomi AS --, boleh jadi rupiah masih akan terdepresiasi menjadi lebih dalam lagi.

Tak heran jika kepanikan pun terlihat kental menggejala. Ini tak hanya ditunjukkan oleh kalangan pemilik modal yang beramai-ramai menukarkan dana mereka ke dalam denominasi dolar AS. Bank Indonesia juga merasa perlu menjewer beberapa bank asing karena terindikasi melakukan spekulasi di pasar uang hingga menekan kurs rupiah. Padahal, seperti kata Menneg Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Kwik Kian Gie, spekulasi di pasar uang sejatinya merupakan konsekuensi tak terhindarkan dalam sistem devisa bebas seperti kita anut.

Kepanikan itu sendiri jelas menunjukkan sikap dan persepsi bahwa ekonomi kita sekarang ini cenderung bergulir ke arah yang mencemaskan. Dalam bahasa lugas, di hari-hari mendatang ini ekonomi kita sungguh sulit dan berat.

Itu niscaya menjadi "hidangan" awal bagi pemerintahan baru hasil Pemilu 2004. Adakah itu sudah dipikirkan oleh masing-masing pasangan capres-cawapres yang segera berlaga dalam pemilihan presiden 5 Juli?***
Jakarta, 22 Mei 2004

Tidak ada komentar: