07 Mei 2004

Stok Pupuk

Di atas kertas, stok pupuk di masyarakat sekarang ini memadai -- bahkan relatif melimpah. Menurut data di Ditjen Bina Sarana Produksi Pertanian (Deptan), di Jabar, misalnya, stok pupuk untuk Mei ini berjumlah sekitar 96.000 ton. Itu jauh di atas kebutuhan yang diperkirakan mencapai 58.202 ton. Begitu juga untuk Juni, stok pupuk di Jabar ini tak perlu dikhawatirkan: mencapai 88.614 ton, sementara kebutuhan hanya sekitar 51.000 ton.

Itu diperkuat oleh data realisasi penyaluran pupuk dari produsen kepada kalangan distributor. Menurut laporan PT Pupuk Kujang kepada pihak Deptan, realisasi penyaluran pupuk di Jabar selama periode Januari-April 2004 berkisar antara 110 hingga 112 persen. Artinya, pupuk yang disalurkan ke tengah masyarakat jauh melampaui kebutuhan.

Untuk wilayah pemasaran PT Pupuk Kujang saja, selama periode Januari-April 2002 itu pupuk yang tersalur mencapai 162.000 ton, sementara kebutuhan hanya 142.000 ton. Sedangkan untuk wilayah kerja sama operasi PT Pupuk Sriwijaya (Pusri), selama periode itu pupuk yang tersalur tercatat sekitar 80.000 ton. Itu di atas kebutuhan sebanyak 72.000 ton.

Jadi, di atas kertas, stok pupuk sekarang ini sama sekali tak masalah. Tapi kenyataan di lapangan justru lain sama sekali. Di sejumlah sentra produksi padi di Jabar, khususnya, pada musim tanam sekarang ini pupuk menjadi barang langka. Tak heran jika harga sarana produksi tani itu pun melambung jauh di atas harga eceran tertinggi (HET) yang dipatok pemerintah. Di tingkat pengecer, harga pupuk ini sekarang berkisar antara Rp 1.200 hingga Rp 1.400 per kilogram. Sementara HET yang dipatok pemerintah hanya Rp 1.050 per kilogram.

Kenyataan itu semakin mengukuhkan kesan selama ini: bahwa kelangkaan pupuk sudah merupakan siklus musiman yang senantiasa dihadapi petani. Seperti juga harga gabah yang niscaya anjlok di saat musim panen raya, petani selalu saja harus menghadapi kenyataan bahwa pada setiap musim tanam seperti sekarang ini pupuk jadi langka -- dan karena itu harga komoditas tersebut melambung tinggi melampaui HET.

Pemerintah sendiri, khususnya pihak Deptan, sebenarnya sudah melakukan langkah-langkah antisipasi. Beberapa bulan lalu, pihak Deptan mewajibkan pihak pabrik pupuk dan distributor -- juga di lain pihak distributor dan pengecer -- meneken surat perjanjian jual beli (SPJB) pupuk bersubsidi. Itu untuk memudahkan pemantauan serta pengendalian harga pupuk di tingkat pengecer agar efektif berpijak pada HET.

Dengan SPJB, kalau saja distributor ketahuan menjual pupuk ke pengecer di atas harga yang ditetapkan dalam SPJB, pabrik pupuk bisa menjatuhkan sanksi pencabutan status distributor terhadap pengusaha bersangkutan. Di lain pihak, distributor juga berhak memutus hubungan bisnis dengan pengecer jika pihak terakhir itu berbuat neko-neko hingga mengakibatkan harga pupuk melambung melampaui HET.

Tetapi, menilik krisis pupuk di sejumlah sentra produksi padi di Jabar sekarang ini, kebijakan Deptan itu terbukti mandul. Boleh jadi, itu karena kebijakan memang tidak sungguh-sungguh diimplementasikan. Betapa tidak: sejauh ini kita tidak memperoleh informasi bahwa seluruh distributor dan pengecer sudah meneken SPJB. Tak heran jika kalangan pengecer pun tak sedikit pun ragu menjual pupuk jauh di atas HET.

Mungkin itu karena distributor dan pengecer sendiri memang sama sekali tak menggubris kewajiban tentang SPJB. Maklum karena tak ada mekanisme yang membuat mereka benar-benar tunduk membuat SPJB. Atau boleh jadi juga, masing-masing pihak yang sudah meneken SPJB pun tak menghiraukan kesepakatan yang tertuang di dalamnya.

Barangkali karena itu pula, pemerintah pun tergerak menurunkan beberapa tim ke lapangan guna mencari fakta seputar kelangkaan pupuk di Jabar ini. Tentu, pada saatnya, tim kemudian merekomendasikan langkah-langkah penanganan atas krisis pupuk ini.

Tapi apa pun langkah yang kelak ditempuh pemerintah, kita ragu bahwa krisis pupuk di Jabar bisa benar-benar tuntas teratasi. Paling tidak, kita tak yakin bahwa krisis serupa tak akan merebak di daerah lain saat musim tanam tiba. Kita juga bisa menduga bahwa di tahun-tahun mendatang krisis pupuk tetap menggejala. Kita boleh meyakini bahwa krisis pupuk masih akan menjadi siklus musiman yang merugikan petani. Mengapa?

Jujur saja, pangkal masalah krisis pupuk ini adalah keinginan baik pemerintah melindungi petani di dalam negeri. Dalam konteks ini, subsidi pupuk yang diberikan pemerintah melahirkan disparitas harga komoditas tersebut di dalam negeri dan di pasar ekspor. Sekarang ini saja, disparitas itu bernilai sekitar 60 dolar AS per metrik ton.

Bagaimanapun, kenyataan itu amat menggoda banyak pihak. Berbagai upaya pun mereka tempuh semata untuk meraup keuntungan besar yang tertoreh dari disparitas harga tadi. Di negeri yang telanjur korup ini, langkah ke arah itu sungguh bukan sesuatu yang musykil. Atas dasar itu, tak berlebihan bila kita pun berkeyakinan bahwa pupuk produksi dalam negeri sekarang ini banyak dialirkan ke pasar ekspor.

Justru itu, kecukupan stok pupuk ini memang cuma di atas kertas!***
Jakarta, 07 Mei 2004

Tidak ada komentar: