25 Mei 2004

Subsidi untuk Petani

Rencana pemerintah mencabut subsidi pupuk patut kita hargai. Rencana tersebut menunjukkan keinginan baik pemerintah memupus krisis pupuk yang saban musim tanam dialami petani padi. Tetapi apakah pencabutan subsidi pupuk yang diikuti dengan pemberian subsidi langsung kepada petani ini akan menguntungkan petani?

Kita sependapat bahwa pencabutan subsidi pupuk memang bisa diharapkan mampu memupus krisis pupuk yang saban musim tanam selaku dialami petani padi. Sumber krisis pupuk -- juga komoditas lain, seperti gula -- memang pemberian subsidi. Subsidi melahirkan disparitas harga antara pupuk bersubsidi dan pupuk tak bersubsidi -- termasuk harga pupuk di pasar internasional.

Disparitas harga itu yang kemudian mendorong orang menyelundupkan pupuk bersubsidi ke pasar ekspor ataupun merembeskannya ke kelompok konsumen atau sektor yang tak berhak menikmati subsidi. Ini amat mudah kita pahami. Dengan menjual pupuk bersubsidi ke pasar mancanegara atau ke sektor lain, orang bisa menuai untung besar sesuai disparitas harga yang tertoreh.

Memang, penyelundupan ke pasar ekspor ataupun perembesan pupuk bersubsidi ke sektor lain seharusnya bisa dicegah. Tetapi, tampaknya, mekanisme pengawasan di lapangan amat lemah. Amat boleh jadi, pihak-pihak yang seharusnya melakukan fungsi pengawasan atas peredaran pupuk bersubsidi
turut tergoda ikut mencicipi berkah disparitas harga tadi. Akibatnya, makin besar angka disparitas itu, penyelundupan ke pasar ekspor atau perembesan pupuk bersubsidi ke sektor lain makin deras pula. Kenyataan itu pula yang mengondisikan krisis pupuk menjadi siklus tahunan: tiap musim tanam senantiasa dihadapi petani.

Dalam konteks itu, petani padi di dalam negeri -- notabene merupakan sasaran pemberian subsidi -- bukan saja kesulitan memperoleh pupuk, melainkan juga harus menanggung harga pupuk jauh di atas patokan harga pupuk bersubsidi yang digariskan pemerintah. Padahal pupuk (kimia) telanjur menjadi komponen produksi petani kita. Justru itu, manakala pasokan pupuk berkurang dan harganya jauh melambung, petani praktis kelimpungan. Pada gilirannya, itu jelas bisa berpengaruh terhadap produktivitas pertanian pangan kita.

Kelak, setelah subsidi pupuk ini dicabut, siklus tahunan yang tidak perlu itu bisa kita hindari. Paling tidak, pasokan pupuk bisa diharapkan tak mendadak berkurang atau bahkan hilang hanya karena tersedot oleh ekspor ataupun merembes ke sektor lain. Karena disparitas harga tak terbentuk lagi, orang tak bakal terdorong lebih mementingkan pasar ekspor atau konsumen lain yang tak berhak menikmati subsidi pupuk.

Namun, memang, di lain pihak penghapusan subsidi ini membuat petani kita tak lagi bisa menikmati pupuk berharga relatif murah. Harga pupuk pasti jadi berfluktuasi mengikuti harga di pasar internasional.

Karena itu, kita amat menghargai kebijakan pemerintah yang berencana mengalihkan pemberian subsidi pupuk ini langsung kepada petani. Dengan itu, pencabutan subsidi pupuk tak serta-merta menjadi disinsentif bagi petani. Meski harga pupuk kelak membumbung setinggi langit, petani dimungkinkan bisa tetap mampu menjangkaunya.

Kita belum tahu mekanisme pemberian subsidi langsung kepada petani ini. Mungkin, seperti diutarakan Menperindag Rini Soewandi, petani dibagi kupon yang bisa digunakan sebagai fasilitas diskon saat mereka berbelanja pupuk. Atau mungkin pula cara lain. Pokoknya, mekanisme itu daya beli petani terhadap pupuk tetap terjaga setiap saat.

Tetapi, apa pun pilihan pemerintah kelak tentang mekanisme penyaluran subsidi langsung ini, kita sungguh merasa waswas. Kita menilai, pemberian subsidi langsung kepada petani sangat rawan manipulasi. Justru itu, bukan tidak mungkin subsidi tersebut tidak jatuh ke tangan petani sebagai kelompok sasaran. Subsidi malah dinikmati oleh pihak-pihak lain yang sesungguhnya sama sekali tak berhak.

Kekhawatiran seperti itu tidak mengada-ada. Bagaimanapun, pengalaman sudah cukup memberi pelajaran berharga. Misalnya saja ketika pemerintahan Presiden BJ Habibie menyalurkan kredit usaha tani (KUT) melalui mekanisme executing -- kredit diberikan tidak berdasarkan kelayakan teknis-ekonomis menurut pertimbangan bank --, dana yang terkucur ternyata lebih banyak tercecer tak karuan. Kalangan petani sendiri sangat sedikit menikmati dana tersebut. Nama mereka lebih banyak dicatut orang sebagai penerima KUT, sementara dananya sendiri justru dinikmati oknum-oknum tak bertanggung jawab.

Karena itu pula, agaknya, Kantor Mennegkop/UKM cenderung enggan menyetujui usulan Depkeu mengenai penghapusan tunggakan KUT periode 1998/1999 sebesar Rp 5,76 triliun. Persoalannya jelas: karena terlalu banyak penunggak -- notabene sama sekali bukan petani -- justru diuntungkan. Mereka itu, sesuai telusuran, adalah pihak-pihak yang dulu memanipulasi data hingga turut menikmati kucuran KUT.

Walhasil, pemberian subsidi langsung sebagai kompensasi pencabutan subsidi pupuk pun perlu ditimbang amat matang. Kalau bisa, kompensasi itu bahkan jangan berupa pemberian subsidi langsung.***
Jakarta, 25 Mei 2004

Tidak ada komentar: