30 Januari 2004

Kekebalan Pejabat BPPN

Isu soal klausul pemberian kekebalan hukum terhadap para pejabat Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) -- termasuk anggota Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dan anggota Komite Pemantau Pelaksana Tugas (KPPT) BPPN -- serta-merta mengundang heboh. Orang segera curiga bahwa klausul yang konon termuat dalam Keppres tentang pembubaran BPPN itu sengaja dirancang untuk melindungi pejabat-pejabat tadi atas segala kesalahan atau penyelewengan yang mereka perbuat selama menjabat.

Tak kurang dari Menneg Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Kwin Kian Gie yang menyatakan bahwa pemberian kekebalan hukum itu sungguh tidak masuk akal. Itu tak lain karena klausul tersebut menafikan pertanggungjawaban hukum atas kebijakan BPPN yang ternyata kemudian merugikan keuangan negara lantaran kebijakan itu sendiri nyata-nyata merupakan kecurangan atau penyelewengan wewenang (abuse of power).

Kemungkinan tersebut memang bukan mustahil. Bahkan sejak lama orang sudah mengingatkan bahwa kekuasaan cenderung korup. Jadi, tindak penyelewengan atau penyimpangan berdasar kewenangan tertentu memang amat dimungkinkan dilakukan orang -- di mana pun dia berada. Terlebih bagi mereka yang berkiprah di instansi yang amat bergelimang aset dan super power seperti BPPN: kemungkinan terjadinya penyelewengan kekuasaan sungguh naif jika dinafikan begitu saja.

Walhasil, memang, sungguh tidak masuk akal jika para pejabat BPPN diberi kekebalan hukum. Tindakan itu hanya relevan jika ada kepastian bahwa seluruh pejabat BPPN tidak pernah melakukan kesalahan atau menyelewengkan wewenang selama mereka menjabat.

Di samping itu, pemberian kekebalan hukum juga terkesan mengingkari prinsip persamaan di muka hukum (equality before the law). Selebihnya, kebijakan itu secara apriori menepiskan kemungkinan-kemungkinan bahwa para pejabat BPPN itu membuat penyimpangan kebijakan yang merugikan negara.

Padahal kemungkinan itu sendiri demikian nyata. Sekarang ini saja, misalnya, dua mantan Kepala BPPN diduga kuat terlibat tindak penyelewengan atas dana Rekening 502 tentang program penjaminan pemerintah terhadap perbankan nasional. Kalau saja pemerintah kemudian mengeluarkan Keppres yang memberi kekebalan hukum terhadap para (mantan) pejabat BPPN, jelas kasus penyimpangan dana Rekening 502 ini akan beku atau menguap begitu saja: kedua mantan pejabat yang sudah disidik polisi tadi bisa melenggang bebas alias tak bisa disentuh proses hukum. Sementara, di lain pihak, mantan Gubernur Bank Indonesia yang juga terbelit kasus tersebut -- karena tidak tercakup sebagai pihak yang diberi kekebalan hukum -- terus diproses menuju pengadilan.

Karena itu, bisa dipahami jika orang pun menaruh prasangka bahwa Keppres tentang pemberian kekebalan hukum bagi para pejabat BPPN itu bersemangatkan "persekongkolan". Dalam konteks ini, orang menangkap kesan bahwa pemerintah sendiri sudah memiliki semacam keyakinan bahwa para pejabat itu amat berisiko terjerat proses hukum. Tapi karena langkah atau kebijakan mereka sewaktu menjabat itu tidak berdiri sendiri, maka fasilitas kebal hukum juga diberikan kepada para anggota KKSK dan KPPT BPPN.

Kecurigaan atau prasangka seperti itu mungkin berlebihan. Terlebih karena beberapa pejabat tinggi negara sudah menandaskan bahwa para pejabat BPPN ini sama sekali tidak kebal hukum. Wapres Hamzah Haz, misalnya, menyatakan bahwa jika di kemudian hari ditemukan bukti bahwa para pejabat BPPN melakukan tindak kriminal dalam menangani aset BPPN, mereka tetap dituntut ke pengadilan.

Dengan kata lain, menurut Hamzah, para pejabat BPPN tidak kebal hukum. Karena itu, segala kesalahan yang berisifat kriminal menjadi tanggung jawab pribadi mereka. Siapa pun pejabat BPPN, jika di kemudian hari ditemukan penyimpangan selama masa tugas, dia bisa dituntut di pengadilan.

Kalau benar begitu, kenapa pemerintah mesti menyiapkan Keppres yang memberi kekebalan hukum bagi para pejabat BPPN ini? Entahlah. Yang pasti, Menneg BUMN Laksamana Sukardi sempat menjelaskan bahwa ihwal kekebalan hukum itu sebenarnya merujuk pada risiko para pejabat BPPN atas kemungkinan menghadapi tuntutan hukum kalangan obligor yang tidak bisa terima kebijakan BPPN menyangkut aset-aset mereka.

Tapi jika benar itu yang dimaksud, bukankah soal tersebut sudah tegas diatur dalam PP No 18/1999 tentang BPPN. Di situ disebutkan soal indemnity atau kekebalan hukum. Atas dasar itu, dalam menjalankan tugas sesuai peraturan perundangan yang berlaku, pejabat maupun karyawan BPPN tidak dapat dituntut secara hukum.

Jadi, kenapa pemerintah mesti menyiapkan Keppres yang memberi kekebalan hukum bagi para pejabat BPPN? Lagi pula, seperti kata Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan, ihwal pemberian kekebalan hukum ini harus berdasarkan undang-undang -- tidak boleh sekadar diatur lewat sebentuk kebijakan pemerintah.***
Jakarta, 30 Januari 2004

Tidak ada komentar: