23 Januari 2004

Rehabilitasi Hutan

Gerakan Nasional Rehabilitasi Lahan Hutan (GN-RLH) yang Rabu lalu dicanangkan Presiden Megawati Soekarnoputri di Yogyakarta apakah memang dibutuhkan? Atau, mungkinkah GN-RLH ini menorehkan kenyataan seperti program hampir serupa di masa lalu: hanya menghabiskan dana besar, sementara sasaran tak pernah tercapai.

Bahwa hutan kita amat mendesak direhabilitasi memang sulit dibantah lagi. Berbagai bencana alam, terutama banjir dan longsor yang nyaris tak pernah henti menerpa berbagai wilayah -- notabene melahirkan dampak yang makin hari cenderung kian memrihatinkan -- adalah pertanda nyata tentang seriusnya kerusakan hutan ini.

Pihak Dephut mencatat bahwa hutan yang kini dalam kondisi rusak menghampar seluas 57 juta hektar. Dalam konteks itu, sekitar 24 juta hektar merupakan lahan yang tergolong rusak parah atau kritis. Itu terbagi atas 15 juta hektar di kawasan hutan dan sekitar 9 juta hektar lagi di luar kawasan hutan. Hamparan hutan yang rusak ini masih harus ditambah oleh sekitar 11,5 juta hektar lahan eks hak pengusahaan hutan (HPH).

Jadi, memang, dari segi kuantitatif, persoalan lahan kritis ini sudah amat memrihatinkan. Sementara dari segi kualitatif, persoalan tersebut menghadirkan tuntutan mendesak tentang langkah reboisasi dan rehabilitasi lahan krotis. Terlebih lagi jika mengingat proses deforestasi dan degradasi lahan terus berlangsung dan nyaris tak bisa dibendung.

Sebenarnya, pemerintah sudah sejak lama menunjukkan kepedulian ke arah rehabilitasi atau perbaikan kondisi hutan ini. Kita ingat, pemerintahan Orde Baru menggulirkan kepedulian itu lewat apa yang kita kenal sebagai program reboisasi hutan dan rehabilitasi lahan. Untuk itu, bahkan tiap tahun pemerintah menggelar Pekan Penghijauan Nasional.

Tetapi program perbaikan kondisi hutan ini nyaris tak berbekas. Lahan-lahan kritis tak pernah kunjung pulih menjadi hijau dan lebat kembali. Padahal dana yang dikucurkan untuk itu sungguh tidak kecil. Apa mau dikata, dana untuk reboisasi hutan dan rehabilitasi lahan kritis ini lebih banyak habis menguap dikorupsi oknum-oknum aparat pelaksana.

Bahkan di tingkat kebijakan, dana untuk perbaikan kondisi hutan dan lahan ini tak segan diselewengkan untuk keperluan lain. Sekian banyak Dana Reboisasi (DR) -- pungutan yang dikumpulkan dari para pengusaha pemegang hak pengusahaan hutan, notabene khusus dialokasikan untuk keperluan rehabilitasi kawasan hutan yang sudah ditebangi -- malah digelontorkan sebagai pinjaman kepada Panitia SEA Games dan PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN).
Pinjaman-pinjaman itu tak pernah kembali ke kas DR. Pinjaman kepada Panitia SEA Games mengendap tanpa penyelesaian yang jelas. Sementara pinjaman kepada IPTN -- kini berganti wujud menjadi PT Dirgantara Indonesia yang di ujung kebangkrutan -- akhirnya dikonversi menjadi modal penyertaan pemerintah di industri pesawat terbang itu.

Walhasil, kepedulian pemerintah terhadap upaya reboisasi hutan dan rehabilitasi lahan kritis ini tak lebih sekadar kosmetik. Dalam konteks itu pula, Pekan Penghijauan Nasional yang rutin digelar saban tahun -- bergiliran antardaerah -- praktis hanya merupakan ritual yang menguras dana negara.

Lalu bagaimana dengan GN-RLH? Secara konseptual, GN-RLH tak beda dengan program reboisasi hutan dan rehabilitasi lahan di masa lalu. Bedanya, GN-RLH lebih tertuju pada lahan kritis di daerah aliran sungai (DAS).

Secara operasional, sasaran yang menjadi GN-RLH terbilang ambisius. Bayangkan saja, dalam lima tahun, GN-RLH ditargetkan menyentuh DAS seluas 3 juta hektar. Untuk tahun pertama saja, sasaran GN-RLH mencakup areal seluas 300.000 hektar di 29 DAS. Untuk itu, dana yang dialokasikan total bernilai sekitar Rp 1,2 triliun.

Dari segi pendanaan, GN-RLH mungkin tak masalah. Tapi dalam soal pencapaian sasaran, kita ragu. Target seluas 300.000 hektar pada tahun pertama saja, GN-RLH jelas menuntut persiapan dan sosialisasi sangat matang. Tapi faktanya, pedoman pelaksanaan pun hingga GN-RLH ini resmi diluncurkan belum juga jelas. Belum lagi, seperti kritik kalangan lembaga swdaya masyarakat (LSM), operasional GN-RLH juga amat miskin partisipasi masyarakat -- mulai tahap perencanaan dan pelaksanaan.

Ditambah sosialisasi yang praktis hanya sayup-sayup, pendekatan yang berwatak sentralistis itu membuat GN-RLH sulit diharapkan efektif mampu menjawab tantangan dan tuntutan nyata di lapangan. Mungkin berkat model pelaksanaan yang lebih terkesan bergaya proyek, penanaman bibit pohon relatif bisa berhasil dilakukan. Tapi karena partisipasi masyarakat telanjur dinafikan, sulit dijamin bahwa bibit-bibit itu bisa terus bertahan dan tumbuh sempurna menjadi tegakan pohon rimbun menghijau.

Walhasil, kita skeptis bahwa GN-RLH mampu menjawab masalah lahan kritis. Lagi pula, memang, jawaban yang lebih urgen dan lebih strategis atas masalah itu bukan berupa penanaman pohon, melainkan penghentian proses deforestasi yang sudah demikian parah. Kita melihat, sejauh ini langkah pemerintah ke arah itu justru serba tanggung.***
Jakarta, 23 Januari 2004

Tidak ada komentar: