13 Januari 2004

Larangan Impor Beras (1)

Di tengah keraguan pemerintah menerapkan kenaikan tarif impor beras menjadi Rp 510 per kilogram sesuai keputusan yang tertoreh pada Desember silam, Menperindag Rini Soewandi akhir pekan lalu memutuskan melarang impor beras selama musim panen raya. Larangan tersebut juga berlaku untuk masa satu bulan sebelum dan dua bulan setelah penan raya.

Langkah tersebut patut diacungi jempol. Itu jelas menunjukkan bahwa Menperindag menyadari betul bahwa impor beras di tengah musim panen raya sekarang ini sungguh tidak produktif: harga dasar gabah pasti anjlok. Itu bukan hanya membuat petani gagal menikmati keuntungan atas jerih-payah mereka melakukan budidaya padi. Lebih dari itu, anjloknya harga dasar gabah ini justru membuat mereka semakin miskin. Betapa tidak, karena ongkos produksi yang telanjur mereka keluarga jauh di atas harga gabah.

Jadi, pelarangan impor beras untuk tempo terbatas itu merupakan kebijakan yang bersipat propetani. Kebijakan tersebut sungguh amat bisa diharapkan menyelamatkan kepentingan petani. Mereka tak akan lagi terjebak dalam "ritual" yang amat menyakitkan saban kali musim panen raya tiba: harga gabah anjlok di bawah patokan pembelian pemerintah.

Bagi petani gabah, impor beras di saat panen raya memang menjadi momok. Terlebih seperti sekarang ini ketika produksi beras nasional diperkirakan mampu mencukupi kebutuhan konsumsi di dalam negeri.

Pihak Deptan memerkirakan bahwa produksi beras domestik akan mencapai 31,8 juta ton. Itu di atas kebutuhan nasional yang hanya sekitar 30,3 juta ton. Jadi, kita memiliki surplus produksi beras sekitar 1,5 juta ton. Surplus itu sendiri belum termasuk sisa stok tahun lalu yang menurut pihak Deptan berjumlah sekitar 1,9 juta ton plus beras yang beredar di masyarakat sebanyak 4 juta hingga 5 juta ton. Walhasil, kita sekarang ini masih memeliki kelebihan stok beras sekitar 7,4 juta ton. Karena itu, impor beras sama sekali sungguh tidak memiliki alasan.

Selama ini, khususnya sejak kita dipaksa Dana Moneter Internasional (IMF) menghapus subsidi dan pajak tarif impor, nasib petani boleh dikatakan praktik tak menjadi kepedulian pemerintah. Dalam konteks ini, impor beras dibiarkan menggelontor deras tanpa kenal musim. Desakan berbagai kalangan agar bea masuk beras dinaikkan nyaris tak digubris pemerintah. Bahkan setelah pada Desember 2002 lalu bea masuk beras ini disepakati dinaikkan dari Rp 430 menjadi Rp 510 per kilogram, pemerintah tetap terkesan gamang. Buktinya, pernerapan tentang kenaikan bea masuk itu tak kunjung dilaksanakan -- tanpa alasan jelas.

Karena itu, keputusan Menperindag Rini Soewandi melarang impor beras untuk tempo terbatas itu -- sebulan sebelum musim panen raya, selama panen raya, dan dua bulan setelah panen raya -- serta-merta menjadi alternatif yang melegakan. Betapa tidak, karena panen raya kini sudah di depan mata. Bisa dibayangkan jika kebijakan itu tak segera keluar, saat panen raya niscaya menjadi malapetaka bagi petani: harga gabah kembali amburadul seperti saat musim panen raya pada tahun-tahun lalu.

Namun demikian, nasib petani sebenarnya belum benar-benar aman. Meski kran impor beras resmi sudah ditutup sementara, harga gabah masih mungkin tergelincir ke tingkat yang membuat petani tertohok. Itu bisa terjadi selama impor beras secara ilegal masih saja berlangsung. Bahkan kita khawatir bahwa pelarangan sementara import beras justru membuat arus masuk ilegal beras dari mancanegara kian meraja-lela.

Kemungkinan seperti itu tak bisa kita tepiskan. Disparitas harga beras di pasar domestik dan di pasar internasional bagaimanapun amat menggoda orang untuk berupaya keras -- dengan berbagai cara -- memasukkan beras ke dalam negeri. Seperti kata Kepala Badan Ketahanan Pangan Achmad Suryana, dengan tarif pajak impor beras Rp 430 per kilogram, sekarang ibni importir masih bisa menjala untung sekitar Rp 500 per kilogram. Itu karena harga beras impor cuma Rp 233 per kilogram, sementara di pasar dalam negeri harga beras rata-rata Rp 1.223 per kilogram.

Kenyataan itu pula yang membuat banyak pihak seperti berlomba mengimpor beras. Bahkan semangat melakukan itu secara ilegal lebih menggebu lagi karena importir bersangkutan bisa menangguk keuntungan sampai Rp 930 per kilogram.

Karena itu, kita khawatir pelarangan impor beras untuk sementara waktu ini semakin memacu orang menyelundupkan bahan pokok itu secara ilegal ke pasar domestik. Justru itu, kebijakan Menperindag itu pun bisa mandul alias tidak efektif.

Itu jelas menjadi tantangan serius bagi jajaran aparat Bea Cukai. Mereka amat diharapkan mampu mengamankan kebijakan Menperindag tentang pelarangan impor beras tadi. Dalam konteks ini, kemampuan dan komitmen aparat Bea Cukai mengatasi penyelundupan beras sungguh menjadi taruhan.***
Jakarta, 13 Januari 2004

Tidak ada komentar: