09 Januari 2004

Kenapa Risau?

Langkah pemerintah mencabut fasilitas bebas pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan barang mewah (PPnBM) di Batam, yang mulai berlaku sejak 1 Januari lalu, serta-merta mengundang reaksi sejumlah kalangan. Reaksi mereka terkesan begitu emosional: bahwa kebijakan pemerintah yang tertuang dalam PP No 63/2003 itu membuat Batam kehilangan daya tarik istimewa bagi kegiatan investasi.

Bagi mereka, pengenaan PPN dan PPnBM niscaya membuat Batam bukan lagi surga investasi. Justru itu, pencabutan fasilitas bebas PPN dan PPnBM bukan saja membuat Batam sulit menarik masuk pemilik modal baru. Lebih dari itu, bisa-bisa investor (asing) yang selama ini sudah berkirah di Batam pun lantas memilih hengkang.

Asumsi seperti itu mungkin berlebihan. Pertama, karena untuk sementara ini pencabutan fasilitas bebas PPN dan PPnBM di Batam ini -- menurut PP No 63/2003 -- hanya meliputi tiga jenis barang kena pajak: kendaraan bermotor, minuman beralkohol, serta rokok dan hasil tembakau lain. Setelah itu, mulai awal Maret, menyusul produk elektronika dikenai PPN dan PPnBM pula.

Kedua, karena PP No 63/2003 juga menggariskan bahwa industri yang berorientasi ekspor di Batam tetap menikmati fasilitas bebas PPN dan PPnBM seperti selama ini. Jadi, transaksi dalam negeri maupun impor barang kena pajak yang akan menghasilkan produk ekspor tidak dikenai PPN.

Demikian pula dengan sejumlah fasilitas bebas PPN, sebagaimana diatur pasal 16 B Undang-undang PPN, untuk wilayah Batam tetap berlaku. Karena itu, industri berorientasi ekspor ini sama sekali tak beralasan dikhawatirkan hengkang karena mereka tetap tidak dikenai PPN dan PPnBM.

Walhasil, sebenarnya, PP No 63/2003 ini tidak mesti serta-merta membuat kegiatan investasi di Batam mengalami kiamat. Apa yang lebih mungkin terjadi adalah bahwa praktik-praktik penghindaran pajak yang selama ini menggejala -- yakni dengan memanfaatkan status Batam sebagai wilayah yang menikmati fasilitas bebas pajak -- menjadi tak terlampau leluasa lagi. Dengan kata lain, PP No 63/2003 amat mungkin membuat ruang gerak bagi praktik penghindaran pajak menjadi menyempit.

Memang, nyaris menjadi rahasia umum bahwa status Batam yang selama ini memeroleh keistimewaan berupa fasilitas bebas pajak banyak dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk menghindari pengenaan pajak. Banyak perusahaan yang sama sekali tidak memiliki cabang di Batam sering memanfaatkan wilayah tersebut sebagai tempat bertransaksi. Mereka sengaja menjalin transaksi di Batam semata agar terbebas dari pengenaan pajak.

Semangat menekan praktik seperti itu pula, sebenarnya, yang melatari kebijakan pemerintah menerbitkan PP No 63/2003 ini. Ditjen Pajak Hadi Purnomo, dalam kaitan ini, menyatakan bahwa pengenaan PPN dan PPnBM di Batam -- atas tiga jenis barang kena pajak tadi -- bisa menghasilkan pemasukan pajak sekitar Rp 400 miliar per tahun. Itu jelas lumayan menambah penerimaan pajak.

Namun demikian, itu tak otomatis berarti bahwa langkah penerbitan PP No 63/2003 ini bisa benar-benar produktif. Kita khawatir bahwa secara psikologis kebijakan yang mencabut fasilitas bebas PPN dan PPnBM di Batam itu -- terutama kalau kebijakan tersebut tak cukup tersosialisasi -- membuat kalangan investor di sana merasa tidak nyaman lagi. PP No 63/2003 bisa-bisa mereka anggap sebagai bukti nyata pengingkaran pemerintah atas janji-janji tentang insentif investasi di Batam.

Karena itu, jangan-jangan benar kekhawatiran orang bahwa PP No 63/2003 membuat kalangan investor hengkang dari Batam. Jika itu terjadi, alih-alih menangguk tambahan penerimaan sebesar Rp 400 miliar seperti disebut Hadi Purnomo tadi, penerimaan pajak di kawasan tersebut boleh jadi malah turun.

Jujur saja, apa yang lebih relevan dan urgen dilakukan pemerintah sebenarnya bukan menyelamatkan potential loss penerimaan pajak di Batam yang menjadi ekses fasilitas bebas PPN dan PPnBM, melainkan menuntaskan UU Zona Perdagangan Bebas (FTZ) Batam. Dengan itu, kalangan investor beroleh kepastian bahwa berbagai insentif yang dijanjikan pemerintah tak bakal dipreteli atau dicabut.

Fakta menunjukkan bahwa dalam soal UU FTZ Batam ini, sikap atau janji pemerintah tak bisa dipegang. Sebut saja pernyataan Menko Perekonomian yang menyebutkan bahwa UU FTZ paling lambat sudah klar pada akhir tahun 2003. Nyatanya, hingga kini kepastian tentang itu masih tetap tanda tanya besar.

Karena itu, kekhawatiran bahwa PP No 63/2003 membuat Batam kehilangan daya tarik bagi kegiatan investasi jadi terasa masuk akal.***
Jakarta, 9 Januari 2004

Tidak ada komentar: