20 Januari 2004

Rawan Pangan

Kita belum bebas masalah rawan pangan. Demikian peringatan Mentan Bungaran Saragih dalam acara pemberian penghargaan Ketahanan Pangan tahun 2004 di Istana Negara, Jakarta, Rabu lalu. Tapi pernyataan tersebut nyaris tak bergema karena tenggelam oleh hiruk-pikuk isu-isu lain yang lebih panas, seperti kasus penyelewengan dana Rekening 502, rencana pengoperasian angkutan bus kota jalur khusus (busway) di Jakarta, juga perkembangan politik menjelang pemilu.

Padahal pernyataan Bungaran tentang masalah rawan pangan ini sungguh penting. Paling tidak, dengan melontarkan pernyataan itu, Bungaran amat terkesan ingin menekankan bahwa masalah rawan pangan di Indonesia masih merupakan ancaman yang perlu diwaspadai dengan serius.

Mungkin Bungaran ingin menggugah pihak-pihak lain, khususnya instansi-instansi terkait di pemerintahan, agar tidak terlena oleh produksi pangan nasional pada musim tanam sekarang ini yang secara umum memang menunjukkan tren meningkat. Padahal, di satu sisi, produksi pangan nasional ini tidak terjamin benar-benar stabil. Panen raya padi yang akan kita mulai dalam beberapa pekan mendatang, misalnya, bisa saja ternyata gagal total akibat diterjang bencana.

Kemungkinan tentang risiko bencana itu sungguh tak bisa dipandang remeh. Paling tidak, seiring curah hujan dalam musim sekarang ini yang -- menurut ramalan pihak Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) -- terbilang abnormal, potensi bencana banjir demikian nyata membayang. Justru itu, sasaran produksi padi untuk musim tanam 2003/2004 sebanyak 31,8 juta ton beras pun bisa-bisa tak tercapai.

Belum lagi jika menimbang kenyataan bahwa kemampuan produksi pertanian pangan domestik sebenarnya cenderung mengalami penurunan relatif terhadap permintaan. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa dalam 10 tahun terakhir, rata-rata kenaikan produksi pangan hanya 0,9 persen. Sementara konsumsi justru naik antara 2,5 hingga 3 persen.

Memang, langkah impor bisa menjadi solusi untuk mengamankan ketersediaan pangan ini -- terutama jika produksi pertanian di dalam negeri terganggu. Tetapi kita juga tahu bahwa karawanan ataupun ketahanan pangan tidak hanya menyangkut aspek produksi atau ketersediaan komoditas pangan. Masalah tersebut juga erat bertali-temali dengan soal keterjangkauan fisik (distribusi) maupun kemampuan ekonomi masyarakat atas komoditas pangan.

Itu pula yang menorehkan kenyataan bahwa sentra produksi pangan seperti Jatim atau Jabar, misalnya, tak serta-merta bebas masalah rawan pangan. Secara keseluruhan, daerah tersebut bisa saja sama sekali tidak kekurangan pangan -- karena produksi mencukupi, atau bahkan surplus. Tapi di wilayah-wilayah tertentu di daerah itu, masyarakat masih kesulitan memeroleh pangan. Keterbatasan daya beli ataupun distribusi membuat mereka sulit menjangkau pangan dalam artian kuantitatif maupun kualitatif.

Sementara itu, kerawanan pangan memiliki korelasi negatif dengan pangsa pengeluaran pangan. Semakin besar pangsa pengeluaran pangan suatu rumah tangga, semakin rendah ketahanan pangan rumah tangga tersebut. Dengan kata lain, kehidupan rumah tangga itu pekat dibayangi masalah rawan pangan.

Data menunjukkan bahwa hanya golongan berpendapatan tinggi yang memiliki pangsa pengeluaran pangan di bawah 50 persen. Sementara pada kelompok berpendapatan rendah dan sedang, pangsa pengeluaran pangan ini terbilang tinggi -- masing-masing sekitar 70 persen dan sedikit di atas 60 persen.

Karena itu, sebenarnya, praktis tak ada daerah atau wilayah yang benar-benar bebas masalah rawan pangan. Di mana-mana pasti terdapat rumah tangga yang dililit masalah tersebut. Yang membedakan hanya proporsi. Daerah tertentu bisa memiliki proporsi rumah tangga rawan pangan lebih besar ketimbang daerah lain.

Tetapi kita menangkap kesan bahwa masalah rawan pangan ini telanjur dipersepsi dangkal -- seolah hanya tersangkut soal ketersediaan pangan. Ketika sebuah pemberitaan menyebutkan bahwa sekian persen masyarakat Jatim menghadapi rawan pangan, misalnya, pemda setempat langsung bereaksi -- menampik. Bagi mereka, itu sungguh tak masuk akal karena Jatim justru merupakan lumbung pangan.

Kita tidak tahu kenapa masalah rawan pangan ini cenderung dipersepsi dangkal. Yang pasti, kecenderungan tersebut berbahaya -- karena menyederhanakan masalah. Itu, pada gilirannya, amat menentukan komitmen masing-masing pihak ke arah langkah-langkah penanganan. Bahkan, bisa-bisa penanganan masalah rawan pangan ini dianggap seolah hanya tugas pihak Deptan.***
Jakarta, 20 Januari 2004

Tidak ada komentar: