09 Februari 2004

Deindustrialisasi

Pelan tapi pasti, proses deindustrialisasi di negeri kita terus berlangsung. Entah sudah berapa banyak industri yang sudah tutup ataupun hengkang ke negeri lain. Juga entah berapa banyak lagi industri yang segera menyusul gulung tikar atau angkat kaki. Yang pasti, kita nyaris tak bisa membendung kecenderungan tersebut. Ketika tempo hari raksasa elektronik Jepang -- Sony Corp -- memutuskan merelokasi pabrik komponen mereka di sini ke negara tetangga, misalnya, kita hanya bisa menyesali. Juga manakala belakangan produsen sepatu Nike dan Reebok memutuskan menutup pabrik mereka di Indonesia, kita hanya mampu mengelus dada.

Dalam konteks seperti itu, pemerintah seperti tak bisa berbuat banyak. Seperti kita juga, pemerintah cuma bisa mengelus dada dan merasa prihatin -- karena penutupan pabrik jelas menambah panjang barisan pengangguran yang sebenarnya sudah mencemaskan.

Memang, pemerintah tak sepenuhnya tinggal diam. Cuma, langkah-langkah yang disiapkan untuk membendung arus deindustrialisasi ini sekadar menjadi retorika politik. Pembenahan iklim investasi, terutama, praktis hanya merupakan basa-basi. Buktinya, pungutan tidak resmi yang sejak lama dikeluhkan dunia usaha tetap saja merajalela. Kepastian hukum juga tak kunjung menenteramkan kalangan pengusaha. Sementara layanan birokrasi masih pula seperti dulu: serba lamban dan berliku-liku. Lalu insentif-insentif bagi kegiatan penanaman modal juga lebih banyak sekadar menjadi janji-janji.

Tetapi kalaupun iklim investasi di dalam negeri ini bisa disulap menjadi kondusif sekalipun, fenomena deindustrialisasi belum tentu serta-merta terhenti. Boleh jadi, arus deindustrialisasi ini akan terus berlangsung. Kalaupun tidak menjadi gejala massal, satu-dua industri di dalam negeri kemungkinan besar tetap memutuskan menutup pabrik atau hengkang ke negeri lain.

Apa mau dikata, secara kondisional tampaknya langkah penutupan ataupun relokasi pabrik ke negeri lain kini memang sudah menjadi pilihan strategis bagi industri di dalam negeri. Bagi mereka, pilihan itu paling nyaman dan aman ketimbang terus bertahan beroperasi seperti selama ini.

Adalah Menperindag Rini Soewandi sendiri yang mengakui bahwa kiprah industri di dalam negeri sekarang ini sudah tidak kompetitif. Selama ini, struktur industri di Indonesia dibangun dengan hanya mengandalkan faktor upah buruh yang murah. Kiprah mereka nyaris tak memiliki tautan dengan masalah teknologi maju, dukungan bahan baku, dan sumberdaya manusia yang berkualitas.

Karena itu, ketika upah buruh tak lagi mendukung, industri kita limbung. Daya saing mereka kian hari kian keropos seiring peningkatan upah buruh yang saban tahun terus tertoreh.

Harus kita akui, itu sebuah kesalahan yang selama ini tak pernah kita sadari. Selama bertahun-tahun kita terlena oleh faktor upah buruh murah. Kita tidak berpikir lebih strategis bahwa faktor itu tidak mungkin selamanya bisa kita andalkan sebagai daya dukung industri. Bahkan kalaupun tidak terus-menerus naik, sekarang ini upah buruh kita sulit digolongkan murah lagi -- karena tingkat produktivitas pekerja kita relatif rendah dibanding di negara-negara lain. Itu pula yang membuat Cina dan Vietnam kini menjadi pesaing berat kita dalam menarik penanaman modal ini.

Boleh jadi, selama ini kita telanjur amat dibayangi kebutuhan pragmatis dalam mengembangkan industri ini: menyerap banyak tenaga kerja. Di tengah tekanan dan tuntutan itu, tanpa sadar kita selama ini telah mengembangkan industri yang lebih condong padat karya. Kita menerapkan strategi upah buruh murah dengan kualifikasi kecakapan (skilled) rendah. Kita alpa bahwa daya saing industri juga (semakin) mutlak ditentukan oleh dukungan teknologi maju dan keunggulan bahan baku.

Karena itu, agribisnis sawit, misalnya, di negeri kita sekadar berhenti menghasilkan minyak sawit mentah (CPO). Kita tidak mendorong agribisnis sawit ini bergerak lebih dalam lagi ke hilir hingga bisa menghasilkan produk-produk yang lebih bernilai tambah dan punya daya saing tinggi. Begitu juga industri kehutanan: sekadar menghasilkan produk setengah jadi berupa plywood atau bahkan kayu gelondongan (log).

Syukur, kekeliruan itu sudah disadari pemerintah sebagaimana diutarakan Menperindag Rini Soewandi dalam forum raker dengan Komisi V DPR, Selasa lalu. Kita juga amat mendukung tekad Menteri Rini yang hendak merevisi strategi pengembangan industri ini menjadi lebih berbasis teknologi maju dan keunggulan daya dukung bahan baku, di samping tetap mengusung semangat padat karya.

Tentu, kita berharap tekad itu tidak pupus atau menguap seiring pergantian pemerintahan dalam waktu dekat ini. Bagaimanapun, pemerintahan baru hasil Pemilu 2004 perlu meneruskan sekaligus merealisasikan tekad itu. Jika tidak, deindustrialisasi niscaya terus menggejala dan bahkan makin menggila.***
Jakarta, 09 Februari 2004

Tidak ada komentar: