20 Februari 2004

Kepemimpinan Baru Kadin

Kadin Indonesia beroleh nakhoda baru. Kita tak hendak mempersoalkan siapa menjadi nakhoda baru pengganti Aburizal Bakrie yang telah memimpin Kadin selama dua periode (1994-2004) ini -- apakah Mohamd S Hidayat, Cicip Sharif Surtardjo, Suryo Bambang Sulisto, ataukah Oesman Sapta Odang. Kita percaya, mereka adalah sosok-sosok yang boleh diandalkan dalam memimpin wadah dunia usaha nasional. Kita juga percaya bahwa peserta Munas V Kadin bisa memilih figur terbaik di antara empat kandidat itu.

Namun kita berharap agar proses pemilihan orang nomor satu di Kandi ini berlangsung demokratis dan bersih -- tak diwarnai politik uang (money politics) ataupun kepentingan politik tertentu, juga tanpa direcoki semangat-semangat berbau sektarian. Dengan demikian, figur yang terpilih sebagai Ketua Umum Kadin periode 2004-2009 niscaya benar-benar bisa diterima semua kalangan -- baik di lingkungan Kadin sendiri maupun di lingkungan eksternal dunia usaha nasional.

Itu sungguh penting karena tantangan yang dunia usaha nasional sekarang ini tidak lebih ringan dibanding saat kepemimpinan Aburizal. Bahkan, sejatinya, tantangan sekarang ini jauh lebih berat dan krusial. Kita tahu, meski kondisi ekonomi makro sudah relatif membaik dan menunjang, sektor riil belum juga beranjak signifikan. Sektor riil kita seolah masih tertidur.

Dalam konteks itu pula, kritik Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah ketika berbicara pada forum bisnis dalam dalam rangka Munas V Kadin, Rabu lalu, terasa tidak keliru -- meski, barangkali, juga tidak sepenuhnya benar. Burhanuddin menyebutkan bahwa stabilisasi ekonomi yang telah diusahakan dengan susah-payah seperti sia-sia. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa sukubunga yang rendah -- bahkan terendah sepanjang sejarah nasional -- tidak diikuti oleh kucuran likuiditas perbankan ke sektor riil. Di sisi lain, inflasi yang rendah dan nilai tukar rupiah yang paling stabil sepanjang krisis juga ternyata tidak termanfaatkan secara baik.

Kenyataan itu, bagi Burhanuddin, merupakan bukti bahwa dunia usaha nasional tidak mampu menciptakan kapitalisasi guna memacu investasi serta mendorong ekspor. Padahal itu amat strategis dalam rangka membuka lapangan kerja yang sekarang ini sudah berada pada level krusial.

Mungkin kebijakan pemerintah sendiri yang selama ini tak cukup mampu menjamin kepastian hukum, juga di sisi lain pungutan resmi maupun tidak resmi yang kian membebani kegiatan bisnia, merupakan faktor yang mengondisikan dunia usaha nasional tak cukup sigap memanfaatkan stabilitas ekonomi makro ini.

Tetapi, bagaimanapun, itu tidak bisa dijadikan pembenaran untuk membiarkan sektor riil tetap lumpuh. Itu tadi, karena pengangguran dan kemiskinan telanjur menjadi
masalah yang demikian mendesak dan krusial. Jika tak segera ditangani dengan segenap kesungguhan -- terutama oleh dunia usaha nasional --, niscaya bangunan makro ekonomi yang sudah begitu susah kita tegakkan itu akan runtuh lagi. Kalau itu terjadi, seperti dampak krisis ekonomi yang menerpa sejak medio 1997, ongkos yang harus kita tanggung pasti amat mahal.

Dengan kata lain, perbaikan kondisi ekonomi makro yang telah dicapai harus bisa diikuti oleh upaya-upaya menggerakkan kegiatan dunia usaha nasional. Dengan itu, tingkat pengangguran dan kemiskinan dapat dikurangi.

Itulah masalah krusial yang dihadapi pimpinan Kadin sekarang ini. Dia harus mampu menggerakkan dunia usaha nasional menjadi ujungtombak pengentasan masalah pengangguran dan kemiskinan melalui kegiatan usaha yang bergulir pasti dan kencang. Toh, seperti sudah disinggung, prasyarat kondisional -- ekonomi makro -- sudah membaik dan sangat menunjang.

Sebagai sebuah kekuatan, Kadin sendiri sekarang ini amat bisa diharapkan. Aburizal, harus diakui, mewariskan dunia usaha nasional dalam kondisi solid. Dia berhasil merangkul usaha besar berhimpun di Kadin dan menjadi kekuatan ekonomi nasional. Jadi, ibarat pasukan siap tempur, dunia usaha nasional kini tinggal digerakkan.

Namun, tentu, daya tempur Kadin ini banyak bergantung pada kapabilitas sang komandan. Dia harus pandai membaca situasi dan cerdas merumuskan strategi tempur. Terlebih dalam menghadapi tantangan ekonomi nasional ini, Kadin tak mungkin berjalan sendiri. Bagaimanapun Kadin harus membangun sinergi dengan pemerintah. Kadin harus bisa bahu-membahu dengan pemerintah -- terutama dalam merumuskan berbagai kebijakan dan pengawasan atas implementasinya di lapangan.

Jujur saja, dalam konteks itu, kiprah Kadin selama ini masih lemah. Ada kesan, Kadin belum dianggap pemerintah sebagai mitra yang sejajar. Jangankan diajak merumuskan kebijakan, bahkan catatan kritis ataupun masukan-masukan Kadin pun nyaris tak pernah didengar pemerintah.

Walhasil, menjadikan Kadin sebagai mitra penting pemerintah pun merupakan tantangan lain yang tak kalah krusial bagi kepemimpinan baru Kadin sekarang ini.***
Jakarta, 20 Februari 2004

Tidak ada komentar: