17 Februari 2004

Deregulasi Kehutanan

Paket deregulasi di bidang kehutanan, yang pekan lalu diluncurkan pemerintah, di atas kertas memang bagus. Paket kebijakan tersebut menjanjikan iklim kondusif bagi dunia usaha. Dalam konteks ini, kalangan investor diberi beberapa kemudahan yang memungkinkan mereka bisa mengoptimalkan usaha proyek hutan tanaman industri (HTI). Di sisi lain, paket kebijakan itu juga mengondisikan percepatan pembangunan proyek HTI.

Secara operasional, paket deregulasi di bidang kehutanan ini terbagi dalam tiga kelompok: restrukturisasi, akselerasi, dan peningkatan daya tarik investasi. Kebijakan yang berkaitan dengan restrukturisasi mengatur peluang divestasi, merger, akuisisi, dan penjadwalan kembali (rescheduling) pinjaman Dana Reboisasi (DR) berbunga nol persen.

Di sisi lain, juga diatur penjaminan kelangsungan dana talangan perusahaan induk terhadap HTI patungan. Ini untuk memberi kepastian usaha bagi HTI patungan maupun HTI swasta murni. Dalam kaitan ini disebutkan bahwa perusahaan berbentuk perseroan terbatas bisa mengambil-alih saham perusahaan HTI setelah mendapat persetujuan Menhut.

Sementara kebijakan yang merujuk pada akselerasi pembangunan HTI berkaitan dengan penyederhanaan, penyusunan, penilaian, dan pengesahan rapat kerja tahunan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu tahunan (UPHHKT). Di sisi lain diatur pula penyederhanaan penyelesaian izin UPHHKT yang telah mendapat persetujuan prinsip permohonan tanpa pengesahan studi kelayakan oleh Dephut.

Sedangkan kebijakan menyangkut peningkatan daya tarik investasi mengatur soal peluang akuisisi dan merger terhadap HTI yang memiliki kemampuan investasi dan kesehatan finansial buruk.

Kita tahu, sejak awal program pembangunan HTI sebenarnya diproyeksikan untuk menyelamatkan hutan alam dari tekanan industri pengolahan kayu. Maklum karena kapasitas terpasang industri pengolahan kayu jauh tak sebanding dengan kemampuan hutan alam menghasilkan bahan baku kayu.

Pembangunan proyek HTI ini makin relevan lagi setelah belakangan tindak penebangan liar (illegal logging) makin menjadi-jadi dan nyaris tak terkendali. Tetapi sejak awal pula kita tahu bahwa animo pengusaha terhadap program HTI ini ternyata rendah. Konon, itu karena HTI merupakan proyek padat modal dan berjangka panjang.

Dalam rangka menggelorakan pembangunan HTI ini, pemerintah lantas menyediakan pinjaman DR berbunga nol persen. Di samping itu, pemerintah juga memanfaatkan DR sebagai modal penyertaan di sejumlah perusahaan HTI.

Strategi itu boleh dibilang berhasil: lumayan banyak pengusaha yang tergerak menggarap proyek HTI. Cuma, dalam konteks itu, ketergantungan mereka terhadap DR amat tinggi. Itu jelas tercermin dalam komposisi modal perusahaan-perusahaan HTI yang rata-rata didominasi pinjaman DR.

Tetapi di lain pihak, strategi pembangunan HTI ini tak sepenuhnya berhasil. Dari target seluas 2,7 juta hektar, realisasi pembangunan HTI hanya mencapai sekitar 1,2 juta hektar. Padahal DR telanjur tersalur dalam jumlah besar -- triliunan rupiah -- sebagai penyertaan modal pemerintah, pinjaman berbunga nol persen, juga pinjaman komersial.

Dalam konteks seperti itu pula, kinerja sebagian besar perusahaan HTI ini malah mencemaskan. Berdasarkan audit yang dilakukan pemerintah, sejumlah perusahaan tidak layak secara teknis dan sebagian lagi tidak layak secara finansial. Itu pula yang kemudian menjadi pijakan Menhut mengambil tindakan tegas: mencabut izin HTI perusahaan yang nyata-nyata tidak memiliki prospek lagi.

Lepas dari kenyataan bahwa langkah Menhut itu mengundang gugatan pihak-pihak bersangkutan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) -- notabene tergugat ternyata kalah --, sejumlah DR bisa diselamatkan. Langkah itu pula yang kemudian dilanjutkan Menhut dengan mengeluarkan paket deregulasi tadi.

Akankah deregulasi di bidang HTI ini efektif mencapai sasaran: mendorong investor serius menggarap proyek baru HTI, juga mengondisikan proyek-proyek lama tumbuh optimal dan sehat? Tentang itu, kita tak hendak berspekulasi. Kita hanya ingin menekankan bahwa efektivitas deregulasi di bidang HTI ini menuntut komitmen berbagai pihak.

Justru itu, kita juga perlu mengingatkan bahwa selama ini kebijakan yang digariskan pemerintah pusat acap tumpul pada tahap implementasi di lapangan. Berlatar semangat otonomi, kalangan pemda tak segan mentakacuhkan kebijakan pusat.

Akibatnya, bagi kalangan pengusaha, kepastian hukum sungguh tak bisa dipegang. Itu jelas merupakan disinsentif bagi kegiatan investasi -- termasuk pembangunan HTI. Padahal, sekali lagi, makna pembangunan HTI tak hanya strategis bagi pemerintah atau dunia usaha. Jajaran pemda dan masyarakat di daerah-daerah juga tak terkecuali berkepentingan terhadap keberhasilan pembangunan HTI ini.***
Jakarta, 17 Februari 2004

Tidak ada komentar: