27 Februari 2004

BPPN Bubar

Hari ini keberadaan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) resmi berakhir. Bahkan keputusan tentang pembubaran BPPN ini sudah diteken Presiden Megawati Soekarnoputri, Rabu lalu, menjelang keberangkatannya melawat ke luar negeri.

Apa makna pembubaran BPPN ini? Semestinya, pembubaran BPPN merupakan tonggak bahwa krisis ekonomi nasional yang menerpa sejak medio 1997 silam sudah berakhir. Logikanya, ekonomi nasional kini sudah pulih kembali hingga keberadaan BPPN pun tidak diperlukan lagi. Itu pula, tampaknya, yang melatari keputusan pemerintah tak memerpanjang keberadaan BPPN ini yang sejak awal berdiri dicanangkan hanya berumur lima tahun.

Memang, kondisi ekonomi makro kita sekarang ini sudah jauh membaik dibanding saat krisis dulu. Itu antara lain tercermin pada tingkat inflasi yang terkendali pada level relatif rendah, sukubunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang semakin ramping, juga nilai tukar rupiah yang relatif stabil dan berada pada level kondusif.

Tetapi, agaknya, itu bukan berarti bahwa BPPN telah sukses mengemban peran yang dibebankan pemerintah. Kita tahu, pemerintah membentuk lembaga ad hoc bernama BPPN ini dengan tiga tugas utama: menyehatkan perbankan nasional, membantu pemulihan ekonomi nasional, serta mengembalikan uang negara yang telanjur tersalur ke sistem perbankan nasional.

Jika sekadar melihat indikator-indikator kesehatan bank -- misalnya rasio kecukupan modal (CAR), jumlah kredit bermasalah (NPL), atau dana pihak ketiga --, kondisi perbankan nasional sekarang ini memang relatif sudah baik. Tetapi jika tolok ukur kesehatan perbankan ini dikaitkan dengan fungsi utamanya -- menjadi lembaga perantara mengenai perputaran dana -- patut kita akui bahwa kondisi perbankan nasional belum sesuai harapan.

Kita tahu, fungsi intermediasi perbankan nasional belum juga benar-benar berjalan. Data menunjukkan bahwa rasio penyaluran kredit terhadap dana pihak ketiga (LDR) di perbankan ini masih jauh di bawah 50 persen. Tak heran jika pertumbuhan kredit pun belum juga pulih seperti sebelum krisis. Karena itu pula, dalam konteks membantu pemulihan ekonomi nasional, peran BPPN terlihat kedodoran.

Begitu juga dalam konteks pengembalian uang negara yang telanjur tersalur pada sistem perbankan nasional. Konon, hingga menjelang pembubaran, BPPN telah mengembalikan aset negara senilai Rp 172 triliun. Dibanding biaya penyehatan perbankan yang dilakukan BPPN -- melalui penerbitan obligasi pemerintah senilai Rp 642 triliun, termasuk Rp 144 triliun dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) --, angka itu menunjukkan bahwa uang negara yang berhasil diselamatkan BPPN relatif kecil -- hanya sekitar 27 persen.

Memang, amat sulit mengharapkan uang negara bisa sepenuhnya diselamatkan. Tetapi tingkat pengembalian yang hanya 27 persen sungguh sulit kita maklumi karena menunjukkan bahwa uang negara yang raib tak terselamatkan sungguh teramat besar.

Kendati demikian, barangkali, kiprah BPPN tak bisa sepenuhnya dikatakan gagal. Paling tidak, pada tahun-tahun terakhir ini BPPN cukup membantu meringankan beban pemerintah dalam menambal defisit anggaran melalui langkah penjualan aset -- meski, sekali lagi, itu dengan tingkat pengembalian (recovery rate) yang terbilang rendah.

Tetapi juga amat sulit mengatakan bahwa BPPN sukses mengemban tugas utama yang dibebankan pemerintah. Terlebih jika soal itu dikaitkan dengan gaya manajemen yang amat terkesan royal. Bagaimanapun, gaya manajemen yang sarat fasilitas serba wah -- termasuk gaji pimpinan maupun karyawan yang hampir sulit dipercaya -- malah seolah meneguhkan kenyataan bahwa kinerja BPPN secara keseluruhan sungguh tak elok. Itu pula yang membuat keberadaan BPPN selama ini seolah sebuah mimpi buruk.

Pimpinan BPPN sendiri berkali-kali sempat menekankan bahwa tingkat penyelamatan uang negara yang berhasil dilakukan BPPN jauh lebih bagus ketimbang apa yang ditorehkan lembaga serupa di negara lain sesama korban krisis ekonomi. Toh orang tetap tak bisa menerima itu -- terutama karena proses pemulihan di negeri kita berlangsung amat lamban. Berbeda dengan di Thailand atau Korsel selaku negara yang sama-sama diterpa krisis ekonomi pada medio 1997 silam, pemulihan ekonomi di Indonesia begitu susah bisa dicapai. Bahkan sedikit atau banyak, hingga sekarang pun krisis itu masih terasa. Tak bisa tidak, orang pun lantas memertanyakan kinerja BPPN.

Karena itu, bagi banyak orang, klaim bahwa kinerja BPPN jauh bagus ketimbang apa yang diperbuat lembaga serupa di negara lain malah mengundang sinisme. Lebih-lebih lagi ketika pimpinan BPPN meminta kekebalan hukum atas berbagai langkah atau kebijakan mereka selama berkiprah. Permintaan tersebut mengundang curiga bahwa di balik kinerja BPPN banyak tersimpan masalah. Boleh jadi, masalah tersebut mencuat di kemudian hari manakala BPPN sudah tak ada lagi.

Justru itu, setelah BPPN bubar pun, mimpi buruk tadi tampaknya tak serta-merta sirna.***
Jakarta, 27 Februari 2004

Tidak ada komentar: