06 Maret 2004

Kiprah PPA

Jangan terlalu berharap terhadap kiprah PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA). Lembaga tersebut sulit diharapkan mampu mengukir prestasi lebih baik ketimbang institusi yang digantikannya, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Bahkan sampai Menneg Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Beppenas Kwik Kian Gie pun berani terus-terang menyatakan bahwa tingkat pengembalian (recovery rate) aset oleh PPA pasti lebih buruk ketimbang prestasi BPPN yang hanya 28 persen.

Apa boleh buat. Sebagai sebuah institusi, PPA memang telanjur memiliki cacat bawaan yang membuatnya sulit diharapkan bisa menorehkan kinerja gilang-gemilang. Faktor aset, misalnya, sama sekali tidak mendukung harapan ke arah itu. Memang, aset-aset yang dialihkan BPPN ke PPA ini sudah dalam kondisi tak bermasalah menurut sisi hukum (free and clear). Maklum karena sebelum diserahkan, aset-aset tersebut terlebih dulu ditangani Tim Pembersihan yang khusus dibentuk pemerintah.

Tapi, bagaimanapun, aset-aset yang ditangani PPA ini lebih merupakan sampah eks BPPN. Dibanding yang sudah laku terjual oleh BPPN, aset-aset yang harus dikelola PPA jelas lebih buruk. Kondisi itu pula, sejatinya, yang membuat BPPN gagal melepas aset-aset tersebut. Kendati berkali-kali ditawarkan, aset-aset itu tetap saja tak kunjung laku -- sampai BPPN sendiri dibubarkan pada 27 Februari lalu. Pasar seolah tak tergerak sama sekali terhadap aset-aset tersebut.

Karena itu bisa dipahami jika nilai pasar aset-aset yang dialihkan ke PPA ini sangat jomplang dibanding nilai bukunya. Menurut keterangan pemerintah, nilai buku aset-aset tersebut adalah Rp 108,5 triliun. Tapi jika diukur menurut nilai pasar, aset-aset itu hanya berharga sekitar Rp 10,8 triliun.

Jadi, sebagai onggokan "sampah", pelepasan aset-aset itu niscaya amat sulit -- kecuali, tentu, jika diobral habis-habisan bak koran bekas. Justru itu, bagaimana mungkin kita mengharapkan PPA mampu menorehkan recovery rate lebih bagus ketimbang prestasi BPPN. Padahal recovery rate yang ditorehkan BPPN sendiri cuma 27 persen!

Memang, kalau menimbang aspek pengalaman dan pengetahuan, sosok manajeman PPA sendiri -- notabene didominasi mantan orang-orang BPPN -- sudah tepat. Mereka tentu mengenal betul aset-aset eks BPPN yang ditangani PPA. Karena itu, dalam menangani aset-aset eks BPPN, mereka tidak harus bekerja dari awal sekali. Mereka tak harus mempelajari lebih dulu kondisi masing-masing aset sebelum benar-benar berkiprah. Dengan kata lain, mereka bisa langsung tancap gas.

Tapi profesionalisme manajemen PPA ini juga sudah terukur. Jika menimbang recovery rate BPPN yang hanya 27 persen, rasanya sulit mengharapkan mereka mampu membawa PPA bisa memiliki kinerja bagus. Padahal saat berkiprah di BPPN, mereka diguyur aneka fasilitas serba wah -- termasuk gaji yang fantastis. Sementara, seperti keterangan Menkeu Boediono, fasilitas maupun gaji pimpinan dan karyawan PPA lain dengan BPPN: sama saja dengan di BUMN lain.

Jadi, manajemen PPA jelas harus bekerja dengan fasilitas yang pasti jauh terdegradasi dibanding saat mereka bekerja di BPPN. Secara psikologis, itu niscaya menjadi disinsentif bagi mereka dalam bekerja sehari-hari. Kita bisa berasumsi bahwa semangat atau gairah kerja manajemen PPA ini sama saja dengan di kebanyakan BUMN lain -- tak terbilang istimewa.

Kalaupun asumsi itu ternyata keliru, kinerja kelembagaan PPA sendiri boleh jadi tetap tak bisa gilang-gemilang. Ini jika mengingat potensi masalah hukum terkait dengan langkah-langkah BPPN dalam menangani aset. Sebagai lembaga yang melanjutkan kiprah BPPN, PPA tampaknya harus banyak menuai gugatan dari pihak-pihak yang merasa dirugikan BPPN. Bahkan sebelum resmi dibubarkan, sejumlah pihak sudah mengajukan gugatan hukum terhadap BPPN ini. Beberapa kasus malah sudah mulai berproses di pengadilan. Misalnya gugatan PT Bank Eksekutif Internasional, PT Bank Pikko, juga PT Bank Makindo.

Karena BPPN sendiri kini sudah tak ada lagi, proses peradilan atas gugatan ketiga bank itu mungkin direvisi menjadi dialamatkan ke PPA. Begitu juga gugatan-gugatan lain yang sudah direncanakan dilayangkan pihak-pihak yang juga merasa dirugikan oleh BPPN.

Walhasil, PPA tampaknya akan banyak disibukkan oleh aneka gugatan warisan BPPN. Maklum karena bagaimanapun orang melihat PPA sebagai penjelmaan BPPN.

Pihak PPA mungkin bisa berkelit dengan menyatakan bahwa berbagai gugatan itu salah alamat. Mereka bisa berkilah bahwa PPA bukan lembaga yang mewarisi berbagai masalah yang dilahirkan BPPN. Namun sedikit atau banyak, hujan gugatan ini tetap saja bakal menyita waktu maupun energi pimpinan PPA.

Pada gilirannya, itu pasti berpengaruh terhadap kinerja mereka sendiri. Berkombinasi dengan beberapa "cacat bawaan" tadi, jelas itu membuat kita memang tak bisa berharap banyak terhadap kiprah PPA ini. Ya, pesimistis. Tapi itu lebih baik daripada optimis tapi ternyata kelak kita hanya menuai angin.***
Jakarta, 6 Maret 2004

Tidak ada komentar: