25 Maret 2004

Ketahanan Pangan

Menko Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti sebenarnya ingin mengatakan bahwa ketahanan pangan kita sekarang ini sudah sampai pada tahap mengkhawatirkan. Dengan menyatakan bahwa kita sekarang amat sulit mencapai swasembada beras, dia sesungguhnya melontarkan isyarat bahwa ketahanan pangan kita sudah rapuh.

Dari segi produksi, usaha budidaya pertanian tanaman pangan kita -- terutama beras -- memang sudah bisa dikatakan mulai jenuh. Tingkat produksi beras kita sekitar 33,8 juta ton per tahun sekarang ini tampaknya memang sudah amat sulit ditingkatkan lagi. Jika melihat teknologi yang kita terapkan dalam budidaya padi maupun penanganan pascapanen, tingkat produksi itu sudah benar-benar maksimal.

Padahal, di lain pihak, pola konsumsi kita nyaris tak berubah -- tetap cenderung terpaku pada beras. Data menunjukkan, sekitar 90 persen penduduk Indonesia masih saja mengandalkan beras sebagai bahan pangan pokok. Dengan tingkat konsumsi per kapita rata-rata 136 kg, dan total penduduk sekitar 220 juta jiwa, itu berarti total konsumsi beras kita sekitar 26,9 juta ton per tahun.

Walhasil, konsumsi beras kita sudah tinggi. Bahkan jika memperhitungkan laju pertumbuhan penduduk, konsumsi beras kita ini sebenarnya cenderung terus naik. Dengan jumlah penduduk sekitar 220 jiwa sekarang ini, sementara tingkat pertumbuhan penduduk rata-rata 1,5 persen per tahun, jelas konsumsi beras ini amat sulit diturunkan atau bahkan sekadar ditekan sekalipun.

Dengan kondisi seperti itu, bagaimana mungkin kita bisa mengatakan bahwa ketahanan pangan kita kokoh kuat? Memang, untuk sementara ini, tingkat konsumsi beras kita masih di bawah produksi nasional.

Tapi sampai kapan? Jangan lupa pula, produksi beras kita tak senantiasa terjamin mencapai tingkat maksimal. Sejumlah faktor setiap saat bisa menjadi ganjalan serius terhadap produksi beras nasional ini. Katakan saja faktor bencana alam seperti kekeringan atau banjir. Faktor dukungan kebijakan juga tidak selalu mulus pada tahap implementasi di lapangan. Pasokan sarana produksi seperti pupuk, misalnya, tidak selalu lancar. Begitu juga kredit usaha tani tak senantiasa mengucur tepat waktu.

Yang lebih merisaukan, seperti disinggung Menko Perekonomian, konversi lahan pertanian produktif (sawah) di Jawa terus berlangsung begitu deras. Kita praktis tak bisa membendung konversi lahan sawah ini. Dalam periode 1983-1993 saja, menurut Dorodjatun, penciutan lahan sawah ini rata-rata mencapai 110.000 hektar per tahun. Sementara pencetakan lahan sawah di luar Jawa ternyata amat sulit dan mahal.

Karena itu pula, ketahanan pangan kita pun semakin banyak bersandar terhadap impor. Setiap tahun kita kian pasti menjadi pengimpor beras kelas wahid. Itu bukan semata terkait dengan kebijakan impor yang terbilang longgar, melainkan terutama karena kondisi obyektif ataupun psikologis ketahanan pangan kita memang menuntut impor.

Padahal, ketahanan pangan yang sedikit banyak menyandarkan diri terhadap impor ini sungguh riskan. Itu terutama karena pasar beras di dunia internasional relatif tipis hingga gampang berfluktuasi dan mudah dimainkan orang. Kalau saja risiko itu terjadi, ketahanan pangan kita pun niscaya guncang.

Kenapa kita seperti terjebak dalam konteks ketahanan pangan ini? Bukankah, sebagai negara yang menghampar demikian luas dengan aneka macam potensi komoditas yang bisa dibudidayakan, ketahanan pangan kita mestinya kokoh kuat?

Jujur saja, kenyataan itu merupakan bukti bahwa selama ini kita tidak mampu merumuskan strategi yang jelas mengenai pembangunan pertanian. Konsep-konsep yang dikembangkan untuk itu selalu tak pernah menyentuh akar masalah di lapangan. Bahkan dalam sejumlah kasus, kebijakan yang digariskan pemerintah justru menjadi disinsentif bagi petani. Sebut saja soal penetapan bea masuk beras yang memaksa petani kita harus bertarung mati-matian melawan beras impor.

Karena itu, tak heran jika petani padi kita begitu mudah melepas dan membiarkan lahan mereka dikonversi menjadi tegakan industri atau pemukiman. Itu pula yang menjadi faktor penyebab penciutan lahan sawah di Jawa -- termasuk pesawahan beririgasi teknis -- berlangsung deras dan sulit dibendung.

Jika ditelisik, itu bermuara pada sikap mendasar kita yang tak menempatkan pertanian sebagai sektor strategis dan prioritas. Kalaupun semangat tentang itu terlihat, itu serba semu, sarat kepura-puraan, juga tak pernah konsisten.

Sikap dan komitmen kita terhadap sektor pertanian amat beda dengan negara maju. Kita tahu, di samping begitu dilidungi dengan berbagai kebijakan proteksionistis, sektor pertanian di negara seperti Jepang juga sarat insentif. Itu jelas berangkat dari filosofi yang menempatkan pertanian sebagai benteng ketahanan pangan nasional.

Tapi, tampaknya, kita tak mau belajar banyak terhadap sikap dan komitmen negara maju ini. Sekali lagi, karena kita tak menganggap pertanian sebagai sektor strategis dan prioritas.***
Jakarta, 25 Maret 2004

Tidak ada komentar: