31 Maret 2004

Ada Apa Dengan PTKA?

Mungkin benar, perang tarif jasa angkutan udara sekarang ini -- yang begitu jor-joran -- merupakan faktor yang membuat kinerja PT Kereta Api Indonesia (PTKA) jadi begitu buruk sebagaimana tercermin dari aspek pendapatan yang terus menunjukkan grafik menurun. Tahun lalu, misalnya, PTKA hanya mampu membukukan laba senilai Rp 70 juta! Untuk ukuran sebuah perusahaan sebesar PTKA, laba sebesar itu terasa amat menggelikan dan sulit dipercaya.

Tetapi kalaupun faktor perang tarif jasa angkutan udara tidak ada, kinerja PTKA ini tetap saja buruk. Dalam konteks itu, data yang dipaparkan Indonesia Railway Watch (IRW) gamblang memberi gambaran bahwa perang tarif jasa angkutan udara bukan satu-satunya faktor yang membuat kinerja PTKA sekarang ini sungguh tak elok. Aspek operasional dan keselamatan angkutan kerata api jelas-jelas mengundang prihatin. Frekuensi gangguan lokomotif mogok, gangguan persinyalan serta telekomunikasi, tabrakan antarkereta, juga keterlambatan tiba maupun berangkat cenderung meningkat.

Menurut data IRW, tabrakan antarkereta api selama Januari-Februari 2004 saja sudah mencapai tiga kali. Padahal sepanjang tahun lalu, tabrakan antarkerata api ini hanya terjadi satu kali.

Di sisi lain, gangguan lokomotif mogok selama Januari-Februari 2004 tercatat 351 kali. Sementara selama Mei-Desember 2003, gangguan lokomotif mogok ini "hanya" 164 kali.
Lalu gangguan persinyalan dan telekomunikasi selama Mei-Desember 2003 tercatat 296 kali. Tetapi selama Januari-Februari 2004 saja, gangguan persinyalan dan telekomunikasi ini telah mencapai 597 kali.

Dalam soal keterlambatan berangkat maupun tiba, kinerja PTKA ini juga terus memburuk. Selama Mei-Desember 2003, menurut catatan IRW, keterlambatan berangkat setiap KA rata-rata mencapai 10 menit. Sementara keterlambatan tiba di stasiun rata-rata mencapai 62 menit. Selama Januari 2004, keterlambatan berangkat sedikit membaik menjadi sembilan menit. Keterlambatan kedatangan juga lumayan membaik menjadi 54 menit. Namun Februari 2004, keterlambatan kedatangan setiap kereta api ini memburuk lagi menjadi rata-rata 20 menit, sementara keterlambatan tiba rata-rata menjadi 66 menit.

Kenyataan itu seolah meneguhkan kesan bahwa kinerja PTKA nyaris tak pernah bagus. Sejak zaman dulu, khususnya setelah periode kemerdekaan, kinerja perkeretaapian kita sungguh amburadul. Aspek layanan, terutama, selalu saja mengundang keluhan masyarakat pengguna jasa -- entah itu soal saat kereta api berangkat atau tiba yang selalu terlambat, penjualan tiket yang dikuasai calo, kondisi toilet di atas kereta yang jorok, juga keamanan dan kenyamanan selama dalam perjalanan yang tak terjamin.

Dulu, pihak manajemen gampang berdalih bahwa buruknya kinerja perkerataapian ini terkait erat dengan aspek status hukum badan usaha. Ketika status hukum badan usaha perkeretaapian ini masih berupa perusahaan jawatan (perjan), misalnya, mereka berdalih bahwa ruang-gerak Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA) amat terbatas untuk memberikan layanan paling optimum. Soal kinerja keuangan yang tidak mengesankan juga mereka sebut sebagai konsekuensi logis status hukum badan usaha berupa perjan.

Tetapi ketika kemudian status hukum badan usaha itu ditingkatkan menjadi perusahaan umum (perum), kinerja keuangan maupun kinerja operasional Perum Kereta Api (Perumka) tetap saja amburadul. Anehnya, pihak manajemen lagi-lagi menggelar kilah atau dalih serupa seperti ketika status badan usaha perkeretaapian ini masih berupa perjan.

Ketika belakangan status badan usaha pengelola jasa perkeretaapian kita ini diubah lagi menjadi persero, banyak pihak berharap bahwa citra buram PJKA ataupun Perumka benar-benar jadi pupus. Dengan menyandar status persero, kinerja keuangan maupun kinerja operasional PTKA diasumsikan serta-merta berubah menjadi bagus. Itu tidak berlebihan karena secara kelembagaan PTKA berorientasi meraup keuntungan. Dengan itu, mereka bukan saja bisa menangguk laba, melainkan juga mestinya bisa mengukir prestasi elok dalam aspek layanan di berbagai segi.

Namun apa yang terjadi, status persero pun tetap tak menjawab tuntas masalah yang telanjur membelit jasa perkeretaapian kita. Kalaupun tertoteh peningkatan kinerja keuangan maupun operasional, itu relatif hanya berlangsung sesaat. Waktu tempuh kereta api eksekutif rute Jakarta-Bandung, misalnya, kini tak lagi ekspres seperti saat-saat awal diluncurkan.

Jadi, kenapa kinerja perkeretaapian kita tetap saja tak elok dan mengundang keluhan? Boleh jadi, konsep manajerial perkeretaapian kita memang tak gayut dengan kondisi dan tantangan nyata di lapangan. Atau boleh jadi juga karena manajemen perkeretaapian kita ini bukan tergolong tim yang becus.

Tetapi kita khawatir, amburadulnya kinerja PTKA sekarang ini justru merupakan dampak kombinasi penerapan konsep manajerial yang salah kaprah dan tim manajemen yang kurang becus.***
Jakarta, 31 Maret 2004

Tidak ada komentar: