12 April 2004

Kampanye Antikayu Tropis

Kita  tak boleh tinggal diam jika kampanye antiproduk kayu tropis yang dimotori kalangan lembaga swadaya masyarakat (LSM)  sudah tidak lagi fair serta menjurus ke arah perang dagang (trade war) terselubung yang merugikan kita.

Kita sependapat dengan Ketua Umum Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo), Martias, bahwa kampanye itu mengancam eksistensi industri pengolahan kayu di dalam negeri. Kampanye itu, jika dibiarkan, niscaya mengakibatkan posisi tawar (bargaining position) dunia usaha kehutanan nasional di pasar global kian melorot -- sampai akhirnya bukan mustahil membuat industri pengolahan kayu kita jadi gulung tikar.

Cuma, benarkah kampanye boikot terhadap produk kayu kita ini sudah tidak obyektif lagi? Bagaimana kita bisa meyakini bahwa kampanye tersebut tidak fair -- karena amat merugikan kepentingan industri pengolahan kayu di dalam negeri?

Sesungguhnya, secara prinsip kita setuju terhadap kampanye antiproduk kayu tropis di arena internasional ini -- sepanjang itu bertujuan memaksa industri kehutanan mengindahkan asas kelestarian hutan. Kita percaya, dengan makenisme kampanye boikot, dunia industri kehutanan tak bisa bermain-main lagi dengan masalah kelestarian sumberdaya hutan. Suka ataupun tidak, mereka harus memperlakukan hutan sebagai sumberdaya yang mesti terjamin berkesinambungan (sustainable). Justru itu, mereka tak bisa lagi seenak udel mengeksplotasi hutan ataupun memanfaatkan kayu hasil penebangan liar.

Namun ketika kampanye antikayu tropis ini ternyata hanya ditujukan kepada produk-produk kita, tak bisa lain kita pun serta-merta merasa diperlakukan tidak fair. Seperti kata Martias, jajaran LSM yang mengkampanyekan boikot itu terkesankan tutup mata terhadap China atau Malaysia yang terindikasi kuat justru banyak memanfaatkan kayu ilegal -- notabene eks penebangan liar (illegal logging) di Indonesia. Mereka seolah tidak tahu-menahu soal itu atau mungkin apriori beranggapan bahwa industri pengolahan kayu di Cina dan Malaysia benar-benar "on track": memanfaatkan bahan baku legal dan tak mengancam kelestarian sumberdaya hutan.

Di lain pihak, kalangan LSM ini begitu garang dan apriori berasumsi bahwa industri pengolahan kayu di dalam negeri banyak memanfaatkan bahan baku kayu ilegal. Dalam konteks ini, mereka amat terkesan mengabaikan kenyataan tentang kebijakan pemerintah menyusutkan pasokan bahan baku kayu secara drastis (soft landing policy) sebagai strategi mengamankan keberlangsungan sumberdaya hutan kita, di samping sebagai koreksi mendasar terhadap kekeliruan kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan di masa lalu.

Kalangan LSM ini juga seolah menafikan kenyataan yang menunjukkan betapa industri pengolahan kayu di dalam negeri kini megap-megap kekurangan pasok bahan baku kayu, selain makin sulit berbuat nekat memanfaatkan kayu ilegal hasil tebangan liar.

Perasaan kita telah diperlakukan tidak fair ini belakangan melahirkan kecurigaan atau bahkan keyakinan bahwa pada dasarnya kampanye boikot terhadap produk kayu kita itu sudah diselewengkan menjadi praktik perang dagang terselubung. Buktinya? Soal itu, seperti kata Martias, tercermin pada makin gencarnya negara konsumen mengajukan aneka persyaratan terhadap produk kayu kita. Di pasar Eropa dan Amerika, misalnya, kini persyaratan bagi produk kayu kita -- harus didukung sertifikasi ramah lingkungan (ekolabel) -- semakin ketat dan cenderung mengada-ada. Bahkan di Jepang, soal itu masih ditambah pula oleh peningkatan hambatan nontarif.

Akibatnya, jelas, ruang gerak produk kayu kita di pasar internasional terkondisi jadi amat terbatas. Dalam hubungan itu pula, harga produk benar-benar tertekan. Tak heran jika Menhut Muhammad Prakosa pun sampai berkeyakinan bahwa di balik kampanye boikot produk kayu tropis ini terselip upaya sistematis untuk menghancurkan industri kehutanan nasional. Dengan kata lain, kampanye itu tak lebih merupakan strategi licik jajaran negara konsumen untuk mengerdilkan ekonomi nasional.

Lalu bagaimana? Tak bisa lain, dalam menghadapi praktik bisnis tidak fair di balik kampanye boikot produk kayu kita ini, berbagai pihak terkait di dalam negeri -- khususnya pemerintah dan jajaran pelaku industri kehutanan -- harus solid bersatu dan bahu-membahu. Kita harus menggugat perlakuan-perlakuan tidak fair tadi. Negara-negara konsumen produk kayu kita, terutama, harus bisa diyakinkan bahwa kita memiliki kepedulian besar terhadap kelestarian hutan.

Untuk itu, kita harus bisa merangkul jajaran LSM -- entah di dalam negeri maupun di luar negeri -- agar tidak cenderung menjadi agen negara-negara konsumen produk kayu kita. Mereka harus kita gugah agar bersikap-tindak obyektif mengenai pengelolaan sumberdaya hutan yang kini kita lakukan.

Sekali lagi, langkah ke arah itu menuntut soliditas serta kerja sama pemerintah dan pelaku industri kehutanan. Tapi justru di situ letak kelemahan mendasar kita. Jujur saja, hubungan pemerintah dan pelaku industri kehutanan sekarang ini amat tidak harmonis. Sampai kapan?***
Jakarta, 12 April 2004

Tidak ada komentar: