13 April 2004

Likuidasi Bank

Langkah Bank Indonesia melikuidasi dua bank -- Bank Asiatic dan Bank Dagang Bali -- memang sebuah keharusan. Seperti penjelasan Bank Indonesia sendiri, kondisi kedua bank sudah telanjur kelewat bobrok dan sulit bisa diselamatkan. Meski Bank Indonesia telah lama memberikan pembinaan, kondisi kesehatan kedua bank praktis tidak mengalami kemajuan. Kondisi keuangan kedua bank tak kunjung membaik karena sudah sangat parah.

Walhasil, keputusan Bank Indonesia itu merupakan langkah terakhir yang terpaksa diayunkan karena kondisi kedua bank sudah tidak bisa diharapkan lagi membaik dan sehat. Langkah tersebut sekaligus merupakan wujud komitmen Bank Indonesia menciptakan sistem perbankan yang sehat dan efektif serta dalam rangka menegakkan sistem keuangan yang stabil.

Komitmen ini adalah harga mati karena mempertaruhkan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional. Karena itu pula, kita yakin bahwa langkah Bank Indonesia melikuidasi Bank Asiatic dan Bank Dagang Bali ini niscaya meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan nasional.

Tetapi, memang, langkah itu memiliki harga yang harus ditebus pemerintah: menanggung nasib dana masyarakat di kedua bank. Maklum, karena program penjaminan dana nasabah bank masih berlaku. Dulu, ketika Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) masih berkibar, fungsi penjaminan ini diemban lembaga tersebut. Setelah tugas BPPN berakhir pada 27 Februari lalu, fungsi penjaminan diambil-alih oleh Unit Pelaksana Penjaminan Pemerintah (UP3).

Entah berapa banyak dana yang harus dikeluarkan pemerintah terkait dengan program penjaminan dana nasabah di Bank Asiatic dan Bank Dagang Bali ini. Yang pasti, untuk itu, pemerintah jelas harus mengeluarkan anggaran ekstra. Justru itu, beban APBN pun praktis bertambah. Apa boleh buat!

Tapi justru itu pula, kita seketika diingatkan mengenai pentingnya segera didirikan lembaga penjaminan simpanan masyarakat di perbankan. Dengan menyerahkan soal penjaminan itu kepada lembaga tersebut, pemerintah tidak lagi harus menanggung risiko finansial manakala terjadi kebijakan yang memaksa tindakan mematikan dilakukan terhadap bank bermasalah seperti Bank Asiatic dan Bank Dagang Bali.

Karena itu pula, kita memahami jika selama lembaga penjaminan simpanan belum terbentuk juga pihak Depkeu amat harap-harap cemas atas kemungkinan Bank Indonesia kembali melikuidasi bank bermasalah. Tapi, bagaimanapun, harapan tinggal harapan. Jika secara obyektif bank memang merupakan keharusan -- terlebih kalau masalah yang membelit bank tersebut potensial berisiko sistemik --, Bank Indonesia pasti melakukan likuidasi. Dalam rangka menjaga kepercayaan masyarakat sekaligus memelihara sistem perbankan yang sehat, Bank Indonesia tak mungkin menunda ataupun menangguhkan eksekusi terhadap bank bermasalah ini.

Namun justru itu, kita mendesak pemerintah dan DPR agar segera serius membahas RUU Lembaga Penjaminan Simpanan. Dengan adanya undang-undang tersebut, kelak, pendirian lembaga penjaminan masyarakat -- yang akan mengambil-alih peran UP3 sekarang ini -- jelas memiliki pijakan pasti. Pada gilirannya, di samping pemerintah jadi terbebas dari risiko menanggung pengembalian dana masyarakat terkait program penjaminan, masyarakat juga dibuat lebih yakin terhadap keamanan sistem perbankan nasional.

Kita berharap, pemerintahan maupun DPR baru hasil Pemilu 2004 benar-benar menyadari urgensi pembahasan RUU Lembaga Penjaminan Simpanan ini. Siapa pun yang kelak memimpin negeri kita, juga partai mana pun yang mendominasi DPR, hendaknya bahu-membahu segera menangkap masalah itu. Berbagai tarik-menarik kepentingan politik yang begitu kental mewarnai hari-hari menjelang dan pascapemilu sekarang ini jangan sampai terus berlarut hingga menjadi aral penghalang bagi pembahasan RUU Lembaga Penjaminan Simpanan. Pokoknya, sesaat setelah pemerintahan dan DPR baru terbentuk, semua pihak jangan membuang-buang waktu: segera menetapkan pembahasan soal itu sebagai salah satu prioritas.

Di sisi lain, Bank Indonesia juga perlu lebih ketat lagi dalam meloloskan sosok-sosok bankir melalui uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test). Kasus kebobrokan Bank Asiatic dan Bank Dagang Bali merupakan petunjuk bahwa sistem perbankan nasional masih digayuti perilaku tercela di level manajemen -- entah pemilik maupun direksi bank.

Itu mengindikasikan bahwa proses saringan yang dilakukan Bank Indonesia masih terbilang longgar. Dalam kasus Bank Asiatic dan Bank Dagang Bali, pemilik disebut-sebut begitu jauh merecoki operasional bank. Sikap-tindak mereka pula, konon, yang membuat kedua bank bersangkutan tak mampu mengindahkan prinsip kehati-hatian. Tak heran jika kedua bank itu pun terperosok pada lubang kebobrokan.

Kita tentu amat berharap, kisah kebobrokan bank ini benar-benar berakhir. Artinya, setelah Bank Asiatic dan Bank Dagang Bali dilikuidasi, jangan ada lagi bank yang harus mengalami nasib serupa dengan alasan sama pula: telanjur kelewat bobrok akibat tindakan tercela kalangan bankir.***
Jakarta, 13 April 2004

Tidak ada komentar: