23 April 2004

Penyelundupan Gula

Langkah pemerintah memusnahkan 179 petikemas gula putih selundupan yang ditahan pihak Bea Cukai di Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta jelas positif. Paling tidak, langkah tersebut menumbuhkan kesan bahwa pemerintah tidak main-main terhadap tindak penyelundupan. Justru itu, kalangan penyelundup pun tampaknya harus membuat kalkulasi baru: bahwa risiko memasukkan gula impor ke wilayah Indonesia secara ilegal jadi meningkat.

Namun, boleh jadi, impor ilegal gula putih ini tak akan serta-merta jadi surut. Bagaimanapun, harga gula di pasar dalam negeri yang jauh lebih tinggi dibanding di mancanegara terlampau menggiurkan dan amat menggoda orang untuk memasukkan komoditas tersebut ke negeri kita. Cuma karena tata niaga gula yang digelar pemerintah melahirkan oligopoli impor oleh lima perusahaan -- PT Perkebunan Nusantara (PTPN) IX, PTPN X, PTPN XI, PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI), serta PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) -- pihak-pihak lain terpaksa memasukkan gula eks luar negeri ini melalui saluran ilegal alias menyelundup.

Memang, mestinya tata niaga gula yang digariskan pemerintah mampu membatasi ruang gerak penyelundupan gula eks luar negeri ini. Dengan ditetapkannya PTPN IX, PTPN X, PTPN XI, RNI, dan PPI sebagai pihak yang diizinkan mengimpor gula, mestinya setiap arus masuk gula impor ilegal gampang dikenali -- dan karena itu bisa ditangkal masuk.

Tapi persoalannya, tak semua aparat berjiwa malaikat. Bahkan di negeri yang telanjur korup ini, aparat berjiwa malaikat terbilang mahluk sangat langka. Justru itu, kalangan penyelundup pun bisa mudah mengajak mereka bermain mata. Tak heran jika impor gula ilegal lantas mengalir deras.

Kasus 179 petikemas gula eks luar negeri yang ditahan pihak Bea Cukai di Pelabuhan Tanjung Priok adalah bukti nyata betapa impor ilegal gula ini berlangsung terang-terangan. Kuat dugaan bahwa gula tersebut diselundupkan melalui Pelabuhan Belawan (Medan) sebelum kemudian diangkut menggunakan kapal melalui jasa ekspedisi muatan kapal laut ke Tanjung Priok.

Jelas, dalam konteks itu, sulit menepiskan kecurigaan bahwa aparat berwenang di pelabuhan bermain mata dengan penyelundup. Jika mereka tidak melakukan kongkalingking, bagaimana mungkin gula eks luar negeri sebanyak 179 petikemas bisa begitu saja lolos masuk Pelabuhan Belawan!

Kalaupun aparat di pelabuhan tak bisa diajak main mata, sanksi hukum bagi penyelundup tak terlampau memberi efek jera. Menurut UU Kepabeanan, tindak penyelundupan tidak termasuk kategori pelanggaran pidana, melainkan pelanggaran administrasi.

Justru itu, penyelundup bisa melenggang bebas sepanjang mampu memenuhi kewajiban kepabeanan. Pada saatnya, amat boleh jadi, mereka kembali berupaya memasukkan gula impor secara ilegal. Itu tadi, karena harga gula di pasar dalam negeri yang jauh di atas harga internasional sungguh amat menggoda mereka.

Ironinya, disparitas harga itu justru merupakan ekses tata niaga gula. Seperti juga tata niaga cengkeh di masa lalu, tata niaga gula yang memberikan oligopoli impor hanya kepada lima perusahaan telah mendistorsi pasar dan mendorong harga naik jauh melebihi harga internasional.

Itu masuk akal karena kapabilitas PTPN IX, PTPN X, dan PTPN XI dalam mendatangkan gula eks luar negeri ini terasa meragukan. Bagaimanapun, mereka adalah produsen -- bukan distributor. Dalam menjual gula produksi sendiri saja, selama ini mereka tidak masuk ke jaringan distribusi yang demikian luas dan kompleks. Selama ini mereka hanya melepas hasil produksi di depan gudang pabrik.

Begitu juga PPI, dalam rangka melaksanakan tata niaga gula ini, tak menunjukkan kinerja mengesankan. Tapi, mestinya, itu gampang dipahami: karena kapabilitas PPI ini sejak awal memang sudah diragukan. Mereka tidak memiliki kemampuan apa-apa, baik dalam konteks pengalaman di dunia internasional, permodalan, juga jaringan distribusi. Prasarana pergudangan sendiri, konon, mereka tidak punya.

Tak heran, karena itu, lantas beredar isu bahwa dalam mendatangkan gula impor pun PPI sekadar bertindak sebagai broker. Sementara kegiatan impor itu sendiri mereka percayakan kepada pemain-pemain lama tak memiliki reputasi tak terbilang bagus.

Tapi lepas dari isu tersebut, penunjukan PPI sendiri sebagai importir gula sungguh terasa subjektif -- kalau tidak mengundang tanya. Lebih-lebih justru karena pemerintah sama sekali tak melibatkan Perum Bulog dalam impor gula ini. Padahal track record Bulog sudah jelas terukur. Selaku pelaksana tata niaga gula selama bertahun-tahun di masa silam, Bulog jelas mengantungi pengalaman berharga dalam memasuki belantara pasar gula dunia.

Lebih fundamental lagi, Bulog memiliki infrastruktur pergudangan yang tak tertandingi oleh institusi mana pun di negeri ini. Kenyataan tersebut, paling tidak, merupakan faktor yang membuat kita boleh merasa yakin bahwa distribusi gula impor bisa lancar dan efisien. Pada gilirannya, itu bisa diharapkan mengurangi disparitas harga gula di dalam negeri dan di pasar internasional.

Atas dasar itu, seperti kata kalangan anggota DPR, barangkali beralasan jika Bulog dilibatkan dalam tata niaga gula ini.***
Jakarta, 23 April 2004

Tidak ada komentar: