16 Maret 2004

Peta Ekspor Tekstil

Konon produk tekstil dan produk tekstil (TPT) kita kini kian banyak masuk ke pasar nontradisional. Seperti kata Dirjen Industri Logam, Metal, Elektronik, dan Aneka (Depperindag) Subagyo, selama tahun 2003 hingga awal tahun ini pangsa ekspor TPT nasional ke pasar nontradisional sudah mencapai 56 persen. Itu berarti, peta ekspor TPT kita ini mulai berubah: sudah tak lagi dominan ke negara pemberi kuota -- AS, Uni Eropa, dan Kanada -- yang selama ini menjadi pasar tradisional kita.

Kenyataan tersebut terasa serta-merta membuyarkan gambaran buram industri TPT nasional setelah pasar tradisional kita tak lagi menerapkan fasilitas kuota impor selepas tahun 2004. Kenyataan itu menunjukkan bahwa situasi pascakuota bukan sebuah kiamat bagi industri TPT nasional.

Kita bahkan layak optimis bahwa setelah sistem kuota di pasar tradisional ini resmi dihapus mulai 1 Januari 2005, industri TPT kita bakal tetap mampu bertahan -- bahkan mungkin kian berkibar sebagai penghasil terbesar devisa. Jika selama ini ekspor TPT ke pasar tradisional rata-rata mencapai 5 miliar dolar AS per tahun, pascakuota angka itu bisa jauh lebih tinggi.

Sebelum ini, kita terkesan grogi dan panik. Manakala beroleh kepastian bahwa ketiga negara yang selama ini menjadi pasar tradisional produk TPT kita tak memerpanjang sistem kouta, kita seperti seketika dihadapkan pada sebuah mimpi buruk: kinerja ekspor TPT nasional niscaya memburuk. Justru itu, kita pun segera menoreh gambaran seolah-olah industri TPT kita serta-merta berguguran.

Kita memang sempat terkesan tak siap sekaligus tidak percaya diri menghadapi situasi pascakuota ini. Diakui ataupun tidak, sebelum ini kita amat berharap agar ketiga negara yang menjadi pasar tradisional TPT kita memerpanjang fasilitas impor kouta. Maklum, memang, karena sistem kuota terasa gurih. Tanpa harus terlalu repot-repot menyiasati persaingan, sistem kuota membuat kita terjamin bisa mengekspor produk TPT ke negara-negara bersangkutan.

Itu pula yang membuat kita selama ini kurang tergerak menggarap pasar nontradisional TPT. Padahal pasar nontradisional seperti negara-negara Afrika, Asia, Timur Tengah, juga Amerika Selatan sungguh menjanjikan. Sepanjang kita mampu menembusnya, ekspor TPT ke pasar nontradisional justru bisa terasa lebih gurih. Volume maupun nilai ekspor TPT kita ke sana bisa jauh berlipat dibanding selama ini ke pasar tradisional. Justru itu, kontribusi ekspor TPT ini secara keseluruhan bisa makin signifikan.

Mungkin kesadaran itu pula yang membuat kegiatan ekspor TPT kita mulai berubah orientasi: tak lagi cenderung ke pasar tradisional. Dampaknya segera terasa: itu tadi, pangsa ekspor TPT kita ke pasar nontradisional sudah lebih besar ketimbang ke pasar tradisional. Sayang Subagyo tidak membeberkan soal langkah atau strategi yang ditempuh untuk itu. Yang pasti, peta ekspor TPT kita yang sudah mulai berubah ini mengindikasikan bahwa kita tidak gamang oleh situasi pascakuota. Kita cukup percaya diri.

Namun itu saja belum memadai sebagai modal dasar bagi kita memenangi persaingan di pasar ekspor TPT pascakuota. Kita tak boleh alpa bahwa industri TPT kita secara keseluruhan masih digayuti aneka masalah: kurang fokus dan tidak efisien. Justru itu, jika tak segera dibenahi, bukan tidak mungkin kenyataan yang melegakan tadi mengenai peta dan kinerja ekspor TPT ini hanya gejala sementara. Kalau saja industri TPT kita tetap kurang fokus dan tidak efisien, jangan terlampau berharap bahwa TPT bisa bertahan di era perdagangan bebas.

Karena itu, para pelaku industri TPT nasional perlu segera melakukan restrukturisasi. Dalam pengertian fokus, restrukturisasi ini merujuk pada orientasi produksi yang tajam terarah pada produk jenis tertentu yang memiliki pangsa besar. Ibarat membuka toko, kita tak selayaknya lagi jualan barang kelontongan.

Sementara dalam pengertian teknis, restrukturisasi ini merujuk pada peremajaan permesinan. Sudah lama menjadi kesadaran kita bahwa mesin-mesin industri TPT kita ini sudah uzur hingga tek efisien lagi. Tapi langkah pasti ke arah peremajaan, sejauh ini, cuma menjadi sekadar wacana.

Justru itu, sepatutnya pemerintah tergerak turun tangan. Dalam rangka menggulirkan peremajaan mesin-mesin industri TPT nasional ini, pemerintah perlu berperan memfasilitasi sumber pendanaan. Ini penting karena peremajaan permesinan industri TPT nasional ini membutuhkan dana amat besar dan karena itu menuntut komitmen lembaga keuangan, khususnya perbankan.

Di sisi lain, pemerintah juga beralasan menggiring industri TPT agar memiliki sertifikat standar mutu internasional. Maklum karena di tengah arus pasar bebas sekarang ini banyak negara menerapkan hambatan nontarif sebagai upaya melindungi pasar dalam negeri mereka -- antara lain, ya itu, menyaratkan sertifikat standar mutu yang diakui dunia internasional.***
Jakarta, 16 Maret 2004

Tidak ada komentar: