10 Februari 2004

Divestasi Bank BNI

Ada dua aspek yang tak kita pahami mengenai sikap pemerintah berkaitan dengan rencana penjualan kepemilikan 51 persen saham di Bank BNI. Pertama, rencana tersebut amat terkesan terburu-buru atau dipaksakan. Kedua, pelepasan 51 persen saham ini dilakukan melalui pola penjualan strategis (strategic sale) dan bukan melalui penawaran di pasar modal (market placement).

Menurut berita yang beredar, penjualan 51 persen saham Bank BNI ini akan dilakukan pada semester I tahun ini -- persisnya April 2004. Itu berarti, untuk merealisasikan rencana tersebut praktis hanya tersedia waktu 3 bulan lagi. Bisa kita bayangkan, karena itu, langkah yang ditempuh pemerintah dalam rangka pelepasan 51 persen saham Bank BNI ini jadi serba terburu-buru.

Boleh jadi, pertimbangan-pertimbangan pun terpaksa tak terlampau ketat dilakukan pemerintah. Padahal kita tahu, April mendatang kita menggelar pemilu. Sedikit atau banyak, perhelatan nasional tersebut tentu berpengaruh terhadap lingkungan makro ekonomi kita. Tak terkecuali: penawaran saham Bank BNI pun bakal terpengaruh pula.

Mending kalau pemilu berlangsung aman dan lancar, pengaruh itu mungkin tak terlampau buruk. Tetapi kalau pemilu ternyata sarat diwarnai kekerasan, saham Bank BNI jelas sulit bisa diharapkan ditawar orang pada level yang relatif tinggi. Kalau itu yang terjadi, penjualan saham BNI ini akan terkesan konyol.

Di lain pihak, kondisi obyektif BNI sendiri belum benar-benar kondusif bagi rencana penjualan saham ini. Sedikit atau banyak, kasus pembobolan senilai Rp 1,7 triliun membuat keuangan Bank BNI agak limbung.

Dengan kata lain, Bank BNI kini dalam proses pemulihan setelah dihantam skandal pembobolan melalui surat kredit (L/C) fiktif itu. Dalam konteks ini, pihak manajemen sendiri mengaku membutuhkan waktu hingga Juni mendatang untuk memulihkan Bank BNI ke kondisi sehat.

Walhasil, jika penjualan 51 persen saham dilakukan April, kondisi Bank BNI belum benar-benar kinclong. Justru itu, kita sulit mengharapkan harga jual saham BNI ini benar-benar optimal. Amat boleh jadi, pembeli cenderung menilai saham BNI tak cukup berharga.

Karena itu pula, Serikat Pekerja Bank BNI pun pagi-pagi sudah tegas menyatakan menolak rencana pemerintah menjual 51 persen saham Bank BNI ini. Terlebih lagi kalau ternyata proses penjualan itu mengikikutsertakan Temasek Holdings, perusahaan milik pemerintah Singapura yang menguasai 12,64 persen saham Bank Pembangunan Singapura (DBS).

Saat ini, Temasek telah menguasai Indosat melalui Singapore Technologies Telemedia, Bank Danamon melalui Konsorsium Asia Financial Holdings, dan Bank Internasional Indonesia melalui Konsorsium Sorak Financial Holdings. Kalau saja Temasek kemudian menguasai pula 51 persen saham Bank BNI, cengkraman mereka terhadap ekonomi nasional jelas makin signifikan. Tetapi yang dicemaskan orang adalah kalau-kalau Temasek tersandung kesulitan finansial: dampaknya jelas akan sangat memukul ekonomi kita. Perbankan nasional, dalam kaitan ini, niscaya harus menanggung risiko sistemik yang pasti menuntut ongkos sangat mahal.

Namun lepas dari siapa pun yang kelak tampil sebagai pembeli saham Bank BNI ini, pola strategic sale yang dipilih pemerintah sungguh tidak strategis bagi kepentingan ekonomi kita ke depan. Ini tak lain karena pelepasan 51 persen saham kepada investor strategis mengondisikan pemerintah kehilangan kendali atas Bank BNI. Pada gilirannya itu niscaya membuat pemerintah tak lagi bisa menjalankan fungsi-fungsi tertentu dalam rangka membantu kepentingan khalayak luas.

Adalah mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia Achjar Iljas yang mengingatkan bahwa pasal 12 UU Perbankan -- sebelum diamendemen DPR -- tandas menyebutkan: pemerintah dapat menugaskan bank umum untuk melakukan kegiatan-kegiatan untuk kepentingan masyarakat banyak. Kemudian setelah diamandemen pasal itu menyatakan: pemerintah dapat bekerja sama dengan bank umum dan Bank Indonesia dalam membantu sektor-sektor tertentu yang dianggap untuk kepentingan masyarakat.

Walhasil, sekali lagi, pemerintah tak mungkin bisa menerapkan ketentuan itu terhadap Bank BNI kalau mayoritas bank tersebut sudah dikuasai pihak lain. Lagi pula Tap MPR 2002 tentang Pemulihan Ekonomi sendiri mengamanatkan bahwa program privatisasi ditempuh melalui market placement agar pemilikan saham BUMN lebih merata. Dengan itu pula, basis investor di pasar modal kita menjadi lebih kuat.

Atas dasar itu, kita bisa memahami jika rencana pemerintah melepas 51 persen saham BNI melalui pola strategic sale ini bukan hanya ditentang kalangan karyawan Bank BNI sendiri, melainkan juga amat potensial mengundang penolakan hebat berbagai elemen masyarakat. Penolakan tersebut, seperti dalam kasus privatisasi Indosat tempo hari, boleh jadi berlangsung dahsyat.***
Jakarta, 10 Februari 2004

Tidak ada komentar: