Putusan Mahkamah
Konstitusi (MK) membatalkan sejumlah pasal dalam UU No 22 Tahun 2001 tentang
Minyak dan Gas Bumi, yang berimplikasi pembubaran Badan Pelaksana Kegiatan Hulu
Minyak dan Gas Bumi (BP Migas), sepatutnya dijadikan momentum untuk menata
kembali pengelolaan sumber daya alam migas kita.
Dalam konteks
itu, berbagai peraturan perundangan di sektor migas harus dirumuskan ulang
menjadi benar-benar menegakkan kedaulatan kita di bidang energi, serta
berorientasi kepada sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dengan kata lain,
kebijakan-kebijakan di sektor migas pascapembubaran BP Migas harus kental bersemangatkan
nasionalisme.
Patut diakui, UU
No 22 Tahun 2001 adalah produk reformasi yang kebablasan. Undang-undang
tersebut kelewat liberal, sehingga boleh dibilang melupakan semangat
nasionalisme. Dalam konteks ini, sektor migas nyaris dilepas dari penguasaan
institusi negara. Padahal sektor migas menyentuh hajat hidup orang banyak,
sehingga -- sesuai amanat the founding fathers sebagaimana tersurat dalam UUD
1945 -- seharusnya dalam penguasaan negara.
Karena itu,
keberadaan BP Migas sebagai perwujudan amanat UU No 22 Tahun 2001 pun terasa
ironis. BP Migas seolah tidak benar-benar menjadi representasi
pemerintah/negara dalam penguasaan dan pengelolaan migas. BP Migas terkesan
lebih
merupakan agen
asing ketimbang sebagai institusi wakil pemerintah dalam urusan migas.
Persisnya, BP Migas lebih menunjukkan keberpihakan kepada asing dalam
eksplorasi dan eksploitasi sumber daya migas ini.
Dalam konteks
itu, BP Migas seolah tak memiliki ruh nasionalisme sehingga BUMN sekelas
Pertamina pun nyaris tidak mendapat kepercayaan mengusahakan ladang-ladang
minyak yang amat menguntungkan secara ekonomi dan strategis bagi kepentingan
nasional. Eksplorasi dan eksploitasi ladang-ladang minyak yang memiliki
cadangan besar justru lebih banyak diberikan kepada perusahaan-perusahaan asing
seperti Chevron (AS), Total (Prancis), CNOCC (China), atau British Petroleum
(Inggris).
Alasan itu pula
yang melatari sejumlah pihak -- antara lain Ketua Umum PP Muhammadiyah Din
Sjamsuddin, mantan Ketua PB Nahdlatul Ulama Hasyim Muzadi, mantan Mennakertrans
Fahmi Idris, juga pengacara Eggi Sudjana -- mengajukan permohonan uji materi
atas UU No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi ini ke MK. Mereka gusar
oleh kenyataan bahwa undang-undang tersebut membuat bangsa Indonesia tidak
benar-benar berdaulat dalam bidang energi.
MK mengabulkan
sebagian permohonan uji materi itu. MK memutuskan, keberadaan BP Migas
bertentangan dengan prinsip pengusaan negara atas sumber daya alam migas.
Dengan kata lain, keberadaan BP Migas yang selama ini diwadahi UU No 22 Tahun
2001 harus dibubarkan karena bertentangan dengan konstitusi negara.
Kini, setelah BP
Migas dibubarkan sejak putusan MK dibacakan, Selasa siang kemarin, menjadi
tantangan besar: bagaimana pengelolaan sumber daya migas benar-benar
mencerminkan kedaulatan negara dan bangsa Indonesia di bidang energi. Juga
bagaimana pengelolaan sumber daya migas ini optimal berorientasi kepada
sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Untuk itu,
koreksi atas semangat kebablasan UU No 22 Tahun 2001 jangan sekadar ditandai
oleh pembubaran institusi BP Migas tanpa diiringi spirit nasionalisme dalam
pengelolaan sumber daya migas. Tetapi koreksi ini juga jangan sekadar membuka
praktik keliru dan sesat seperti di masa silam: pengelolaan sumber daya migas lebih
banyak menjadi bancakan kalangan elite penguasa.***
Jakarta, 13
November 2012