13 November 2012

Setelah BP Migas Dibubarkan

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan sejumlah pasal dalam UU No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, yang berimplikasi pembubaran Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas), sepatutnya dijadikan momentum untuk menata kembali pengelolaan sumber daya alam migas kita.
Dalam konteks itu, berbagai peraturan perundangan di sektor migas harus dirumuskan ulang menjadi benar-benar menegakkan kedaulatan kita di bidang energi, serta berorientasi kepada sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dengan kata lain, kebijakan-kebijakan di sektor migas pascapembubaran BP Migas harus kental bersemangatkan nasionalisme.

Patut diakui, UU No 22 Tahun 2001 adalah produk reformasi yang kebablasan. Undang-undang tersebut kelewat liberal, sehingga boleh dibilang melupakan semangat nasionalisme. Dalam konteks ini, sektor migas nyaris dilepas dari penguasaan institusi negara. Padahal sektor migas menyentuh hajat hidup orang banyak, sehingga -- sesuai amanat the founding fathers sebagaimana tersurat dalam UUD 1945 -- seharusnya dalam penguasaan negara.

Karena itu, keberadaan BP Migas sebagai perwujudan amanat UU No 22 Tahun 2001 pun terasa ironis. BP Migas seolah tidak benar-benar menjadi representasi pemerintah/negara dalam penguasaan dan pengelolaan migas. BP Migas terkesan lebih
merupakan agen asing ketimbang sebagai institusi wakil pemerintah dalam urusan migas. Persisnya, BP Migas lebih menunjukkan keberpihakan kepada asing dalam eksplorasi dan eksploitasi sumber daya migas ini.

Dalam konteks itu, BP Migas seolah tak memiliki ruh nasionalisme sehingga BUMN sekelas Pertamina pun nyaris tidak mendapat kepercayaan mengusahakan ladang-ladang minyak yang amat menguntungkan secara ekonomi dan strategis bagi kepentingan nasional. Eksplorasi dan eksploitasi ladang-ladang minyak yang memiliki cadangan besar justru lebih banyak diberikan kepada perusahaan-perusahaan asing seperti Chevron (AS), Total (Prancis), CNOCC (China), atau British Petroleum (Inggris).

Alasan itu pula yang melatari sejumlah pihak -- antara lain Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Sjamsuddin, mantan Ketua PB Nahdlatul Ulama Hasyim Muzadi, mantan Mennakertrans Fahmi Idris, juga pengacara Eggi Sudjana -- mengajukan permohonan uji materi atas UU No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi ini ke MK. Mereka gusar oleh kenyataan bahwa undang-undang tersebut membuat bangsa Indonesia tidak benar-benar berdaulat dalam bidang energi.

MK mengabulkan sebagian permohonan uji materi itu. MK memutuskan, keberadaan BP Migas bertentangan dengan prinsip pengusaan negara atas sumber daya alam migas. Dengan kata lain, keberadaan BP Migas yang selama ini diwadahi UU No 22 Tahun 2001 harus dibubarkan karena bertentangan dengan konstitusi negara.

Kini, setelah BP Migas dibubarkan sejak putusan MK dibacakan, Selasa siang kemarin, menjadi tantangan besar: bagaimana pengelolaan sumber daya migas benar-benar mencerminkan kedaulatan negara dan bangsa Indonesia di bidang energi. Juga bagaimana pengelolaan sumber daya migas ini optimal berorientasi kepada sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Untuk itu, koreksi atas semangat kebablasan UU No 22 Tahun 2001 jangan sekadar ditandai oleh pembubaran institusi BP Migas tanpa diiringi spirit nasionalisme dalam pengelolaan sumber daya migas. Tetapi koreksi ini juga jangan sekadar membuka praktik keliru dan sesat seperti di masa silam: pengelolaan sumber daya migas lebih banyak menjadi bancakan kalangan elite penguasa.***

Jakarta, 13 November 2012