Ancaman kalangan
investor untuk angkat kaki alias hengkang ke luar negeri tak beralasan dianggap
sebagai momok. Ancaman itu barangkali sekadar gertak sambal. Sekadar meminta
perhatian pemerintah menyangut masalah-masalah yang mereka rasakan mengganjal
kelancaran investasi.
Kalaupun benar
kalangan investor memutuskan hengkang, itu tak bakal membuat dunia usaha di
dalam negeri serta-merta mengalami kiamat. Bagaimanapun, investor hengkang
adalah fenomena biasa -- sama seperti investor datang menanam modal ataupun
melakukan ekspansi usaha. Di negara mana pun, fenomena seperti itu lazim
adanya.
Ihwal investor
hengkang baru mungkin bisa membuat dunia usaha nasional mengalami kiamat kalau
itu merupakan sebuah eksodus. Tapi apa mungkin investor bakal ramai-ramai
hengkang ke luar negeri sehingga melahirkan fenomena eksodus?
Tampaknya hampir
mustahil. Kecil sekali kemungkinan investor melakukan eksodus ke mancanegara
karena sekarang ini sama sekali tak ada faktor luar biasa yang bisa menjadi
pemicu, seumpama kehidupan sosial-politik dalam kondisi chaos.
Sejauh ini,
kehidupan sosial-politik di dalam negeri relatif kondusif bagi kegiatan
investasi. Bahwa kadang kehidupan sosial-politik ini bergejolak, itu sekadar
riak yang sama sekali tidak serius mengancam kepentingan investor. Aksi demo
buruh, misalnya, sesekali memang berlangsung anarkistis. Toh itu selalu bisa
dikendalikan aparat keamanan menjadi sekadar peristiwa sesaat dan lokalistis.
Artinya, aksi demo enarkistis itu tidak sampai berlangsung berkepanjangan dan
tidak pula melebar hingga menjadi peristiwa berskala besar serta menimbulkan
chaos di masyarakat.
Di sisi lain,
potensi investasi di Indonesia ini sejak lama diminati kalangan pemilik modal.
Ibarat gadis molek, potensi investasi ini begitu menggoda minat investor. Tidak
mengherankan jika angka persetujuan investasi tiap tahun senantiasa
mengesankan. Paling tidak, jumlah proyek maupun nilai investasi terus
menunjukkan grafik menanjak. Artinya, minat dan gairah investor menanam modal
di Indonesia sejauh ini tetap tinggi.
Karena itu,
sekali lagi, ancaman kalangan investor untuk hengkang ke mancanegara tampaknya
sekadar gertak sambal. Toh kondisi objektif di lapangan sama sekali tidak
memberi pembenaran bahwa ancaman itu sebuah bahaya besar yang bisa membuat
kegiatan investasi di dalam negeri mengalami gonjang-ganjing atau bahkan
kiamat.
Meski begitu,
bukan berarti ancaman kalangan investor ini boleh dianggap angin lalu.
Bagaimanapun, ancaman mereka tetap punya urgensi untuk diindahkan. Toh ancaman
itu sejatinya merupakan ekspresi kegundahan investor selama ini dalam melakoni
kegiatan penanaman modal.
Kegundahan itu
sendiri merujuk kepada iklim investasi di dalam negeri yang tak kunjung
benar-benar oke. Sejumlah faktor masih saja menjadi parasit yang membuat
kegiatan investasi dibebani ekonomi biaya tinggi. Masalah tersebut di satu sisi
terutama terkait kekurangan daya dukung infrastruktur ekonomi, dan di sisi lain
akibat praktik korupsi di banyak lini yang makin merajalela.
Jadi, meski tak
perlu dihadapi dengan sikap paranoid, ancaman kalangan investor untuk hengkang
ke mancanegara ini sepatutnya melecut pemerintah bertindak serius melakukan
pembenahan. Pemerintah jangan lagi lebih banyak berwacana ataupun mengobral janji
menyangkut perbaikan iklim investasi ini. Tindakan konkret dan tajam terfokus
sudah saatnya dilakukan. Intinya, pemerintah harus membuat iklim investasi
benar-benar menggairahkan dan kian berdaya saing.***
Jakarta, 5
November 2012