02 November 2012

Kerikil dalam Sepatu


Masalah gangguan keamanan di Papua benar-benar ibarat kerikil dalam sepatu. Meski sekadar "kerikil", gangguan itu sungguh nyata membuat tidak nyaman suasana. Terlebih gangguan itu kini bukan lagi sekadar muncul menjelang 1 Desember yang menjadi momentum peringatan kelahiran Organisasi Papua Merdeka (OPM). Sekarang ini praktis hampir di sepanjang tahun gangguan itu mencuat. Insiden demi insiden terus bermunculan -- sambung-menyambung.

Secara kualitatif, gangguan itu juga makin mengarah menjadi tindak kekerasan -- atau bahkan teror -- yang acap menelan korban jiwa. Di sepanjang tahun ini saja, sejumlah orang -- termasuk aparat kepolisian dan TNI -- tewas sebagai korban dalam serangkaian insiden gangguan keamanan di Papua ini.

Kenyataan itu jelas semakin menuntut perhatian serius semua pihak, terutama pemerintah. Intinya: kerikil dalam sepatu harus segera dikeluarkan. Kalau tidak, perjalanan bisa-bisa tak dapat dilanjutkan. Artinya, Papua tak bisa dibangun sebagaimana mestinya sehingga daerah itu tetap dibelenggu kemiskinan dan ketertinggalan.

Seruan agar gangguan keamanan di Papua ini mendapat perhatian serius pemerintah memang sudah acap dilontarkan banyak pihak. Namun sepertinya seruan-seruan itu cenderung sekadar menjadi angin lalu. Paling tidak, karena agenda konkret dan tajam terarah tak terlihat digulirkan pemerintah. Bahkan komitmen Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menggelar dialog terbuka dan bermartabat yang melibatkan seluruh elemen masyarakat Papua -- dalam rangka menyelesaikan masalah gangguan keamanan di daerah itu -- menguap begitu saja.

Dalam menghadapi momentum 1 Desember 2012 ini, misalnya, apa yang ditunjukkan pemerintah adalah semacam show of force pihak kepolisian. Tak tanggung-tanggung, status keamanan siaga satu pun diberlakukan. Untuk itu, dua pertiga kekuataan Polda Papua -- konon sekitar 6.000 personel -- diturunkan ke lapangan.

Namun tindakan itu malah memberi kesan seolah-olah situasi keamanan di Papua pada 1 Desember ini sudah demikian gawat. Padahal apa yang dihadapi adalah sekadar kemungkinan anasir OPM mengibarkan bendera bintang kejora.

Memang momentum 1 Desember itu perlu diantisipasi di sisi keamanan. Paling tidak, agar manuver OPM mengibarkan bendera bintang kejora pada 1 Desember jangan sampai seolah beroleh angin dan ruang.

Tetapi antisipasi itu mestinya tak perlu ditempuh dengan menggelar show of force di bidang keamanan. Tidakkah pengerahan kekuatan aparat kepolisian dalam menghadapi momentum peringatan hari jadi OPM itu mestinya cukup sekadarnya? Toh pengerahan kekuatan keamanan dalam jumlah besar justru menumbuhkan kesan kurang elok: seolah-olah OPM
sudah demikian membahayakan keamanan.

Di sisi lain, pengerahan kekuatan keamanan dalam skala besar juga memberi kesan bahwa kepolisian tak cukup yakin bahwa mereka mampu mengendalikan situasi di tengah momentum peringatan hari jadi OPM. Padahal, secara psikologis, kesiapan kepolisian mengendalikan situasi dengan tidak melakukan pengerahan kekuatan secara masif bisa membuat keder pihak OPM.

Jadi, di samping pendekatan keamanan dalam skala cukup sekadarnya, antisipasi momentum peringatan hari jadi OPM ini kenapa tidak ditempuh lewat pendekatan dialog bermartabat yang melibatkan semua pihak di Papua? Ataukah dialog sudah tidak lagi bisa diandalkan sebagai pendekatan untuk menangani masalah keamanan di Papua ini?

Tetapi justru itu, masalah keamanan di Papua benar-benar menjadi kerikil dalam sepatu.***

Jakarta, 2 November 2012