Masalah gangguan
keamanan di Papua benar-benar ibarat kerikil dalam sepatu. Meski sekadar
"kerikil", gangguan itu sungguh nyata membuat tidak nyaman suasana.
Terlebih gangguan itu kini bukan lagi sekadar muncul menjelang 1 Desember yang
menjadi momentum peringatan kelahiran Organisasi Papua Merdeka (OPM). Sekarang
ini praktis hampir di sepanjang tahun gangguan itu mencuat. Insiden demi
insiden terus bermunculan -- sambung-menyambung.
Secara
kualitatif, gangguan itu juga makin mengarah menjadi tindak kekerasan -- atau
bahkan teror -- yang acap menelan korban jiwa. Di sepanjang tahun ini saja,
sejumlah orang -- termasuk aparat kepolisian dan TNI -- tewas sebagai korban
dalam serangkaian insiden gangguan keamanan di Papua ini.
Kenyataan itu
jelas semakin menuntut perhatian serius semua pihak, terutama pemerintah.
Intinya: kerikil dalam sepatu harus segera dikeluarkan. Kalau tidak, perjalanan
bisa-bisa tak dapat dilanjutkan. Artinya, Papua tak bisa dibangun sebagaimana
mestinya sehingga daerah itu tetap dibelenggu kemiskinan dan ketertinggalan.
Seruan agar
gangguan keamanan di Papua ini mendapat perhatian serius pemerintah memang
sudah acap dilontarkan banyak pihak. Namun sepertinya seruan-seruan itu
cenderung sekadar menjadi angin lalu. Paling tidak, karena agenda konkret dan
tajam terarah tak terlihat digulirkan pemerintah. Bahkan komitmen Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono untuk menggelar dialog terbuka dan bermartabat yang
melibatkan seluruh elemen masyarakat Papua -- dalam rangka menyelesaikan
masalah gangguan keamanan di daerah itu -- menguap begitu saja.
Dalam menghadapi
momentum 1 Desember 2012 ini, misalnya, apa yang ditunjukkan pemerintah adalah
semacam show of force pihak kepolisian. Tak tanggung-tanggung, status keamanan
siaga satu pun diberlakukan. Untuk itu, dua pertiga kekuataan Polda Papua --
konon sekitar 6.000 personel -- diturunkan ke lapangan.
Namun tindakan
itu malah memberi kesan seolah-olah situasi keamanan di Papua pada 1 Desember
ini sudah demikian gawat. Padahal apa yang dihadapi adalah sekadar kemungkinan
anasir OPM mengibarkan bendera bintang kejora.
Memang momentum 1
Desember itu perlu diantisipasi di sisi keamanan. Paling tidak, agar manuver
OPM mengibarkan bendera bintang kejora pada 1 Desember jangan sampai seolah
beroleh angin dan ruang.
Tetapi antisipasi
itu mestinya tak perlu ditempuh dengan menggelar show of force di bidang
keamanan. Tidakkah pengerahan kekuatan aparat kepolisian dalam menghadapi
momentum peringatan hari jadi OPM itu mestinya cukup sekadarnya? Toh pengerahan
kekuatan keamanan dalam jumlah besar justru menumbuhkan kesan kurang elok:
seolah-olah OPM
sudah demikian
membahayakan keamanan.
Di sisi lain,
pengerahan kekuatan keamanan dalam skala besar juga memberi kesan bahwa
kepolisian tak cukup yakin bahwa mereka mampu mengendalikan situasi di tengah
momentum peringatan hari jadi OPM. Padahal, secara psikologis, kesiapan
kepolisian mengendalikan situasi dengan tidak melakukan pengerahan kekuatan
secara masif bisa membuat keder pihak OPM.
Jadi, di samping
pendekatan keamanan dalam skala cukup sekadarnya, antisipasi momentum
peringatan hari jadi OPM ini kenapa tidak ditempuh lewat pendekatan dialog
bermartabat yang melibatkan semua pihak di Papua? Ataukah dialog sudah tidak
lagi bisa diandalkan sebagai pendekatan untuk menangani masalah keamanan di
Papua ini?
Tetapi justru
itu, masalah keamanan di Papua benar-benar menjadi kerikil dalam sepatu.***
Jakarta, 2 November 2012
Jakarta, 2 November 2012