28 Februari 2014

Tren Penguatan Rupiah

Sejak awal tahun, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terus cenderung menunjukkan penguatan. Jumat kemarin, kurs tengah Bank Indonesia (BI) menguat 41 poin menjadi Rp 11.689 per dolar AS dibanding Kamis lalu. Di pasar spot antarbank di Jakarta, kemarin kurs rupiah ini juga menguat 41 poin menjadi Rp 11.634 per dolar AS.

Memang, kecenderungan itu  bukan melulu diperlihatkan rupiah. Sejumlah mata uang lain di Asia belakangan ini juga mengalami apresiasi. Tetapi kinerja rupiah paling mengesankan. Dengan tingkat apresiasi 5,01 persen, selama Februari kemarin rupiah memimpin penguatan nilai tukar di kawasan Asia ini.

Kenyataan tersebut jelas melegakan -- karena menjadi petunjuk bahwa arah ekonomi nasional sudah di jalur yang benar (on the right track). Dalam konteks ini, sejumlah kebijakan yang digelar pemerintah jelas telah menjadi penawar atas pelemahan rupiah yang menggejala hampir di sepanjang tahun lalu.

Kebijakan-kebijakan itu antara lain telah berdampak menurunkan defisit transaksi berjalan sebagai faktor utama yang selama ini menekan kurs rupiah. Penurunan desifit transaksi berjalan ini serta-merta menjadi sentimen yang direspons positif oleh pelaku di pasar uang, sehingga kurs rupiah pun cenderung menguat.

Meski begitu, penguatan rupiah sejauh ini belum benar-benar memulihkan tingkat kurs ke level  Rp 9.000-an dolar AS seperti medio 2012 silam yang menjadi titik awal tren panjang depresiasi. Dengan apreasiasi 5,16 persen selama dua bulan terakhir, kurs rupiah saat ini tetap terbilang masih terpuruk dibanding posisi sebelum depresiasi panjang (Mei 2012-Desember 2013).

Bahkan dibanding kumulatif depreasiasi sepanjang tahun lalu sebesar 19,52 persen, tingkat apresiasi rupiah selama dua bulan terakhir jelas belum ideal. Karena itu, tren penguatan rupiah ini diharapkan terus berlanjut.

Untuk itu, pemerintah bersama Bank Indonesia (BI) selaku otoritas moneter tak bisa lain kecuali harus terus bahu-membahu bekerja keras memperbaiki kondisi ekonomi nasional -- dan di sisi lain bersikap awas terhadap berbagai faktor dan kemungkinan yang bisa merusak tren pembaikan kurs rupiah.

Dalam konteks itu, BI terutama mesti pintar-pintar menjaga volatilitas nilai tukar rupiah tidak kelewat tinggi. Volatilitas yang sekarang ini tergolong smooth harus bisa dipertahankan berlanjut terus.

Di sisi lain,  pemerintah terutama diharapkan terus membuat program perbaikan defisit transaksi berjalan sebagai fokus kebijakan. Tingkat defisit yang saat ini masih di kisaran 3 persen harus bisa ditekan hingga di level aman 2,5 persen. Dengan demikian, persepsi dan psikologi pelaku pasar uang tentang kondisi ekonomi nasional bisa terus menjadi faktor kondusif yang kian menyehatkan kurs rupiah. 

Untuk itu pula, pemerintah diharapkan bisa pintar-pintar memanfaatkan kondisi ekonomi global yang mulai melegakan. Kondisi ekonomi global harus dimanfaatkan secara maksimal untuk memperbaiki kinerja ekspor. Jalan ke arah itu mungkin tak terlalu terjal karena harga  beberapa komoditas ekspor kita belakangan ini menunjukkan kenaikan. Misalnya saja harga minyak sawit mentah (CPO), karet, cokelat, kopi, juga tembaga.

Tetapi, di sisi lain, tentu program pengurangan impor juga jangan lantas dikendurkan. Kegiatan impor harus terus dikawal semata untuk memenuhi kebutuhan mendasar. Impor tak boleh tergelincir menjadi ajang perburuan rente seperti dalam kasus importasi beras kelas medium, baru-baru ini.***

28 Februari 2014