10 Februari 2014

Tantangan Diplomasi

Hari-hari ini diplomasi kita terus diuji. Negara-negara tetangga menunjukkan sikap kurang bersahabat. Mereka melecehkan martabat dan kedaulatan kita sebagai sebuah bangsa.

Mereka yang tidak bersahabat itu, antara lain, Australia. Selain tempo hari terungkap melakukan penyadapan terhadap sejumlah tokoh bangsa kita, sekarang ini mereka juga gencar menghalau arus imigran gelap agar tidak masuk ke negeri mereka.

Dalam konteks itu, mereka mengggiring imigran gelap masuk ke wilayah Indonesia. Walhasil, mereka memperlakukan wilayah kedaulatan kita sebagai keranjang sampah kebijakan mereka.

Pemerintah Papua Nugini juga menunjukkan sikap tidak elok terhadap kita. Pekan lalu mereka membakar kapal ikan nelayan kita yang tersesat masuk ke perairan Papua Nugini, dan memaksa nelayan kita berenang pulang memasuki wilayah Indonesia.

Kasus perlakuan tidak patut terhadap warga kita, khususnya tenaga kerja ilegal, juga sudah sangat sering ditunjukkan pemerintah Malaysia. Belum lagi mereka juga beberapa kali mengklaim hak kepemilikan atas produk budaya yang secara kultural dan historis nyata-nyata milik kita.

Lalu kasus yang sedang hangat adalah sikap pemerintah Singapura yang berkeberatan terhadap rencana kita memberi nama kapal perang baru dengan nama pahlawan nasional Usman dan Harun. Secara terbuka, mereka mendikte bahwa kita tak boleh menamai kapal perang dengan nama Usman dan Harun.

Singapura berkeberatan karena Usman dan Harun -- lengkapnya Sersan Usman Mohamed Ali dan Kopral Harun Said -- adalah pelaku pengeboman MacDonald House di Orchard Road kala kita berkonfrontasi dengan Malaysia, tahun 1965. Kala itu, Singapura masih menjadi bagian Malaysia.

Usman dan Harun sendiri -- keduanya anggota elite Korps Komando Operasi yang menjadi cikal bakal Korps Marinir -- tertangkap dan dijatuhi hukuman gantung pada tahun 1968. Mereka jelas bukan teroris sebagaimana klaim Singapura. Mereka adalah aktor negara. Karena gugur dalam menjalankan tugas negara, mereka pun lantas dianugerahi gelar pahlawan -- dan itu sekarang hendak diabadikan sebagai nama kapal perang baru kita.

Sikap berkeberatan Singapura terhadap kebijakan kita itu bukan cuma diungkapkan secara verbal, melainkan juga ditunjukkan lewat tindakan membatalkan secara sepihak rencana pertemuan Wamenhan Singapura Chan Chun Sing dan Wamenhan RI Sjafrie Sjamsoeddin.

Tindakan itu bahkan dilakukan Singapura dengan menabrak norma kepatutan sosial maupun diplomasi. Pembatalan rencana pertemuan kedua wamenhan disampaikan melalui sandek kepada Atase Pertahanan Indonesia di Singapura. Lalu Singapura juga membatalkan undangan bagi 100 anggota TNI untuk menghadiri pembukaan Singapore Airshow 2014.

Rentetan kasus itu jelas merupakan tantangan bagi kegiatan diplomasi kita. Kita tak boleh lembek menghadapi sikap-tindak pihak lain yang nyata-nyata merendahkan harga diri kita sebagai bangsa. Kita harus tunjukkan sikap tegas, elegan, dan bermartabat bahwa kedaulatan kita sebagai bangsa tak bisa diganggu pihak lain. Siapa pun tak berhak mendikte atau apalagi melecehkan kedaulatan kita.

Tetapi pelecehan-pelecehan bangsa lain terhadap kita belakangan ini sejatinya adalah sinyal bahwa saatnya kita membuang sikap-tindak selama ini: kurang percaya diri, lembek, atau bahkan seperti inferior dalam berhadapan dengan bangsa-bangsa lain. Kita adalah bangsa besar dengan nilai-nilai historis yang luhur. Maka sungguh tidak patut kita tampil di forum dunia bak kaum paria.*** 

10 Februari 2014