04 Februari 2014

Bubarkan SKK Migas?

Rangkaian proses persidangan kasus korupsi di pengadilan makin menorehkan kesan bahwa institusi pelaksana kegiatan usaha hulu minyak dan gas, SKK Migas, sami mawon bae dengan lembaga yang digantikannya, BP Migas. Keduanya sama-sama menjadi sarang praktik culas yang merugikan keuangan negara sekaligus menelantarkan kepentingan rakyat banyak.

Dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, kemarin, kian tergambar jelas saja betapa praktik culas itu demikian kental dan vulgar. Tender-tender proyek sama sekali jauh dari asas objektif maupun prinsip fairness karena sarat diwarnai patgulipat yang berujung upeti, suap, atau korupsi. Tender-tender proyek lebih merupakan ajang kasak-kusuk dengan semangat perkoncoan.

Padahal, sebagai institusi pengganti, SKK Migas seharusnya menjadi antitesis BP Migas. Itu bukan cuma dalam memenuhi syarat legalitas-konstitusional, melainkan juga dalam mengusung fungsi kesejahteraan rakyat. SKK Migas tak boleh menjadi sekadar jelmaan baru BP Migas dengan otoritas formal selaras dengan amanat UUD 1945, terutama dalam menjalin kontrak dengan kalangan investor. 

SKK Migas terbukti gagal memenuhi tuntutan itu. Sebagaimana terungkap dalam proses persidangan di pengadilan, SKK Migas bahkan mengulang kesalahan BP Migas. Itu tadi: SKK Migas juga menjadi institusi yang sarat praktik kotor beraroma suap atau korupsi.

Karena itu pula, SKK Migas juga relatif sedikit mengalirkan kesejahteraan bagi rakyat. Dalam konteks ini, sumber daya migas tidak bisa dikelola secara efisien dan produktif. Bahkan target produksi migas yang saban tahun dicanangkan pemerintah bersama DPR praktis tak pernah mampu dicapai. Sementara di sisi lain, cost recovery (biaya eksplorasi yang diklaim kontraktor migas dan harus dibayar negara) justru cenderung terus membengkak.

Oleh sebab itu, tuntutan agar SKK Migas dibubarkan pun terdengar semakin kencang saja. Bagi sejumlah kalangan, SKK Migas sudah kehilangan relevansi untuk terus berkibar. SKK Migas tak beralasan terus dipertahankan.

Kalau dulu BP Migas dibubarkan karena tidak memiliki sangkutan dalam konstitusi, maka SKK Migas beralasan dilikuidasi karena gagal membawa manfaat ekonomi secara maksimal dalam konteks pengelolaan sumber daya migas -- antara lain karena sarat digayuti praktik korupsi.

Tetapi persoalan tidak sesederhana itu. Bagaimanapun pembubaran sebuah institusi pasti memiliki konsekuensi-konsekuensi tidak kecil. Dalam konteks SKK Migas, konsekuensi itu antara lain menyangkut kelanjutan tindak pengelolaan sumber daya migas -- termasuk kehidupan industri migas di dalam negeri. Ujung-ujungnya, pembubaran itu juga mempertaruhkan kemakmuran rakyat yang justru merupakan amanat konstitusi.

Jadi kalau SKK Migas dibubarkan, lalu bagaimana dengan tindak pengelolaan sumber daya migas? Siapa yang harus mengelola? Apakah lantas dibentuk institusi baru pengganti SKK Migas? Tapi apakah institusi baru itu terjamin tidak mengulangi kegagalan SKK Migas? Ataukah pengelolaan sumber daya migas itu dipercayakan kembali kepada BUMN seperti di waktu lampau? Namun bukankah itu sudah terbukti  mengandung banyak konflik kepentingan?

Sebenarnya, pangkal kegagalan SKK Migas itu bukan terletak pada aspek kelembagaan. Selama aturan main tetap mengandung banyak kelemahan, pengelolaan sumber daya migas -- siapa pun yang ditunjuk sebagai pengelola -- tetap akan sulit bisa optimal mengalirkan kemakmuran bagi rakyat. Perselingkuhan-perselingkungan dalam pengelolaan itu niscaya terus menggejala.

Yang kita butuhkan sebenarnya adalah perumusan kembali aturan main tentang pengelolaan sumber daya migas. Untuk itu, tak bisa lain kecuali UU Migas harus direvisi menjadi perangkat yang benar-benar menyejahterakan rakyat.***

4 Februari 2014