07 Februari 2014

Rehabilitasi Kondisi Jalan

Penanganan segera kondisi infrastruktur jalan yang rusak akibat tergenang banjir merupakan keharusan. Langkah tersebut tak bisa ditunda-tunda karena infrastruktur jalan adalah urat nadi mobilitas sosial-ekonomi. Kerusakan tentu membuat fungsi infrastruktur jalan sebagai urat nadi sosial-ekonomi ini menjadi tidak optimal, sehingga masyarakat luas pun harus menanggung rugi.

Atas pertimbangan itu pula rapat kabinet terbatas yang dipimpin langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kemarin, menetapkan operasi tanggap darurat kondisi infrastruktur jalan yang rusak pascabanjir. Operasi dilakukan hingga akhir Februari 2014 di bawah komando Kementerian Pekerjaan Umum. Operasi tanggap darurat akan disambung dengan kegiatan rehabilitasi jalan mulai Maret, terutama manakala cuaca sudah membaik.

Tanggap darurat maupun rehabilitasi infrastruktur jalan ini jelas pekerjaan besar. Keseriusan dan kecermatan aparat pelaksana di lapangan menjadi keharusan. Tidak boleh terjadi, rehabilitasi seperti dilakukan asal-asalan sehingga kondisi jalan cepat rusak lagi.

Artinya, kualitas pekerjaan rehabilitasi harus benar-benar terukur dan terjamin. Kondisi jalan yang menjadi mulus jangan cuma bisa dinikmati publik selama semusim, sementara selebihnya amburadul.

Untuk itu, terutama kegiatan rehabilitasi, harus menjadi koreksi mendasar atas tindak pemeliharaan dan perbaikan kondisi infrastruktur jalan selama ini. Kegiatan rehabilitasi kali ini tidak boleh lagi menjadi bagian "proyek abadi" perbaikan kondisi jalan.

Selama ini, perbaikan kondisi jalan memang amat kental terkesankan sebagai "proyek abadi". Kerusakan kondisi jalan seolah sengaja dipelihara agar kegiatan perbaikan -- dan berarti itu proyek -- tidak pernah putus. Maka pekerjaan perbaikan pun terus-menerus bersambungan dari satu ruas ke ruas jalan yang lain.

Jelas itu tak harus terjadi kalau saja kualitas pekerjaan tidak buruk. Terlebih dana yang dikucurkan untuk itu tak bisa dibilang kecil.

Tak bisa tidak, itu juga berarti pengawasan kegiatan pekerjaan di lapangan selama ini amat jelek. Sistem kontrol tumpul bukan karena sistem itu secara konseptual memble, melainkan lebih karena mental korup oknum-oknum aparat pengawas. Berkongkalingkong dengan pihak pelaksana pekerjaan, mereka menyelewengkan spesifikasi teknis pekerjaan menjadi di bawah ketentuan.

Boleh jadi, terjangan banjir tak harus mengakibatkan kerusakan infrastruktur jalan demikian parah kalau saja pekerjaan pemeliharaan dan perbaikan selama ini beres alias tidak diselewengkan menyalahi ketentuan. Karena itu, sekali lagi, kegiatan rehabilitasi mendatang ini tak boleh lagi menghasilkan pekerjaan kelas abal-abal. Kontrol pekerjaan di lapangan tak boleh seperti main-main.

Untuk memutus praktik "proyek abadi", hasil rehabilitasi infrastruktur jalan pascabanjir kali ini beralasan diaudit khusus oleh institusi berwenang, khususnya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Di lain pihak, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga perlu terjun memasang radar untuk memantau berbagai tindakan yang bisa membuat kegiatan rehabilitasi infrastruktur jalan pascabanjir menjadi bancakan oknum-oknum. Terlebih, sebelum ini, KPK sendiri sudah punya keinginan untuk melakukan penyelidikan atas fenomena "proyek abadi" perbaikan kondisi jalan di jalur pantai utara (pantura) Jawa.

Keterlibatan institusi BPK dan KPK lebih beralasan lagi, karena dana yang dihabiskan untuk kegiatan rehabilitasi kondisi infrastruktur jalan ini niscaya jauh lebih besar daripada dana pemeliharaan rutin selama ini. Sementara sudah menjadi gejala umum, makin besar dana proyek, makin besar pula keinginan dan upaya oknum untuk menggangsirnya!***
 

7 Februari 2014