19 Desember 2012

Kredit Menganggur


Angka undisbursed loan alias kredit menganggur di perbankan nasional yang semakin menggunung, tak bisa tidak, harus dibaca sebagai gambaran buruk iklim investasi di sektor riil. Iklim itu tidak menggairahkan, sehingga sebagian investor (baca: debitor bank) tak kunjung mencairkan kredit. Mereka menunda merealiasikan proyek investasi di sektor riil. Atau bahkan mungkin sebagian mereka sama sekali urung menanam modal di proyek baru atau di proyek ekspansi usaha.

Menurut data statistik yang dipublikasikan Bank Indonesia, per Oktober lalu angka kredit menganggur di perbankan nasional ini menembus rekor, yaitu mencapai Rp 887 triliun. Itu meningkat signifikan (38,2 persen) dibanding angka kredit menganggur per Oktober 2011 yang mencapai Rp 641 triliun.

Angka Rp 887 triliun sungguh besar. Angka yang bukan main. Kalau saja angka itu efektif terserap proyek investasi, sektor riil niscaya lebih menggeliat. Sekian banyak lapangan kerja jelas bisa tercipta. Secara makro, pertumbuhan ekonomi nasional juga niscaya lebih mengesankan lagi: mungkin menembus 7 persen.

Jadi, angka kredit menganggur ini sungguh masalah yang menyesakkan. Kondisi ekonomi global mungkin memberi kontribusi terhadap masalah itu. Krisis ekonomi yang masih mencengkram negara-negara di belahan Eropa dan AS -- juga pertumbuhan ekonomi China yang melambat -- boleh jadi membuat banyak investor menahan diri untuk tidak segera merealisasikan proyek penanaman modal.

Meski begitu, pemerintah juga tak bisa berlepas tangan atas masalah kredit menganggur di perbankan ini. Bahkan bukan tidak mungkin, pemerintah merupakan pihak yang memberi porsi terbesar terhadap fenomena itu. Persisnya, fenomena tersebut merefleksikan kegagalan pemerintah membenahi sektor riil. Pemerintah belum juga mampu mengatasi sederet masalah yang membuat investasi di sektor riil tidak benar-benar menggairahkan investor.

Masalah itu, antara lain, situasi kamtibmas yang belakangan ini acap membuat kalangan investor jadi miris untuk menanamkan modal. Situasi tersebut terutama aksi-aksi demo buruh yang bukan saja makin marak, melainkan juga jadi cenderung anarkistis.

Di sisi lain, kinerja birokrasi juga boleh jadi ikut menghambat kegiatan investasi ini. Paling tidak, birokrasi tidak berfungsi optimal dalam melayani kegiatan penanaman modal. Sebut saja, birokrasi belum membuat proses pembebasan
mulus laiknya jalan tol. Proses pembebasan lahan masih saja berlarut-larut atau bahkan macet kepentok perizinan ataupun proses legal. Akibatnya, proyek investasi acap tidak bisa bergulir karena lahan belum bisa dibebaskan. Maklum, karena lahan adalah faktor fundamental bagi proyek investasi di sektor riil.

Mestinya pemerintah sejak awal sudah melapangkan jalan bagi investor dalam memperoleh soal lahan ini. Bahkan, kalau memungkinkan, investor tidak perlu lagi dibuat pusing mengurus seluk-beluk proses pembebasan lahan. Untuk itu, katakanlah pemerintah memiliki semacam bank lahan sehingga investor cukup tinggal melakukan proses legal pembebasan.

Sungguh mengherankan bahwa pemerintah sepertinya tak kunjung mampu membenahi masalah-masalah yang membelit sektor riil ini. Karena itu, jika fenomena kredit menganggur di perbankan nasional pun bukannya surut, melainkan terus membengkak.***

Jakarta, 19 Desember 2012