09 Desember 2012

Teladan Pejabat Publik

Keputusan Andi Alifian Mallarangeng mundur dari jabatan Menpora, menyusul penetapan dirinya sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek Hambalang, sungguh patut diacungi jempol. Keputusan tersebut bukan hanya melicinkan jalan bagi aparat penegak hukum untuk memproses kasus Hambalang, melainkan terutama memberi teladan tentang laku patut pejabat publik. 

Memang, mestinya, Alifian melakukan tindakan itu tanpa harus menunggu dulu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan status tersangka terhadap dirinya. Keputusan mundur -- semata agar proses penanganan kasus oleh KPK berjalan lancar -- seharusnya sudah diakukan Alifian sejak jauh sebelum itu. Yakni sejak namanya santer dan gencar disebut terlibat dalam kasus dugaan korupsi proyek Hambalang. 

Meski begitu, tindakan Alifian menyatakan mundur sebagai Menpora usai dia ditetapkan sebagai tersangka kasus Hambalang ini tetap patut diapresiasi. Sebab dengan itu dia telah menunjukkan contoh konkret tentang etika dan moral yang harus dimiliki pejabat publik.

Contoh itu sungguh bernas karena selama ini soal etika ini seolah dinafikan kalangan pejabat publik kita. Mereka seperti menutup mata terhadap kepatutan meletakkan jabatan sebagai wujud pertanggungjawaban etis/moral. 

Itu pula yang membuat pejabat publik kita selama ini tidak mengenal tradisi mundur atau meletakkan jabatan. Seolah-olah budaya tersebut adalah najis yang harus dihindari dan dijauhi -- betapapun etika dan moral amat menuntut itu sebagai wujud akuntabilitas di hadapan publik. Dengan berbagai dalih yang sungguh naif secara etis ataupun moral, pejabat publik kita yang tersandung kasus etika maupun hukum selalu mengelak meletakkan jabatan. Tanpa malu-malu mereka berkukuh mempertanhankan posisi sebagai pejabat publik -- bahkan meski khalayak luas memberi tekanan sekalipun. 

Budaya tak tahu malu seperti itu bukan hanya ditunjukkan oleh mereka yang baru santer disebut terlibat atau berstatus tersangka, bahkan nyata-nyata sudah cacat moral pun -- karena sudah divonis pengadilan sebagai terpidana -- mereka tetap menafikan soal etika akuntabilitas ini. Tidak mengherankan, karena itu, banyak pejabat yang sudah divonis bersalah dalam kasus korupsi, misalnya, tetap menyandang status pejabat publik atau pegawai pemerintah. Bahkan mereka bukan hanya tak sudi mundur, melainkan juga tanpa sedikit pun malu menduduki posisi strategis. 

Jadi, tindakan elegan mundur seperti dilakukan Alifian selama ini tidak dikenal dalam praktik pemerintahan kita. Ini bukan semata soal orientasi nilai yang bersifat personal, tetapi juga sudah merupakan budaya komunal yang tidak memberi ruang terhadap praktik pertanggungjawaban etis dan moral. Lingkungan birokrasi dan pemerintahan kita selama ini tidak menjadi lahan subur bagi tradisi yang mengagungkan praktik meletakkan jabatan sebagai wujud akuntabilitas etis dan moral. 

Karena itu, tindakan Alifian mundur sebagai Menpora sungguh patut dijadikan teladan oleh jajaran pejabat publik kita. Bagaimanapun, sudah saatnya tindakan seperti itu -- sebagai perwujudan etika pejabat publik -- dijadikan tradisi atau budaya dalam pemerintahan kita. Lagi pula mundur atau meletakkan jabatan sungguh bukan tindakan hina, melainkan justru perbuatan elegan dan bermartabat.***

Jakarta, 9 Desember 2012