13 Desember 2012

Komunikasi Presiden


Sebagai pemimpin nasional, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dituntut memiliki kemampuan memimpin: mengelola dan menggerakkan segenap potensi bangsa untuk melakukan pembangunan di segala bidang. Dalam kaitan ini, Presiden mutlak kudu menguasai kecakapan berkomunikasi.

Tanpa menguasai kecakapan berkomunikasi, kepemimpinan Presiden niscaya tidak efektif. Pesan-pesan yang disampaikan bukan hanya bisa sulit dipahami oleh komunikan, melainkan juga menimbulkan salah persepsi ataupun salah pengertian.

Secara teknis, kecakapan Presiden Yudhoyono dalam berkomunikasi memang tanpa cela. Dengan pilihan kata yang selalu terjaga, intonasi yang senantiasa tertata, juga gesture yang terpola, kemampuan komunikasi Presiden jelas prima dan mempesona. Terutama saat tampil di podium dalam forum-forum resmi, kecakapan Presiden dalam berkomunikasi ini tergolong jempolan. Tanpa bergaya meledak-ledak macam Bung Karno, penampilan Presiden berbicara di podium-podium ini tak gampang membuat bosan.

Meski begitu, orasi Presiden Yudhoyono acap mengundang kegaduhan di ruang publik. Karena pesan yang disampaikan bias atau multitafsir, pidato Presiden tak jarang lantas menjadi kontroversial. Publik gaduh karena pernyataan Presiden tidak dipersepsi sesuai dengan pesan yang ingin disampaikan Predisen sendiri. Atau bahkan pesan itu menimbulkan kebingungan bagi publik.

Tak bisa tidak, pernyataan Presiden pun menjadi tidak produktif. Artinya, karena pesan tidak sampai diterima publik sesuai yang dikehendaki, komunikasi Presiden gagal membangun kepahaman bersama yang justru dibutuhkan sebagai sebuah energi -- entah berupa kesadaran, kognisi, atau bahkan keinginan berbuat.

Contoh aktual tentang itu, adalah pernyataan Presiden pada peringatan Hari Antikorupsi: negara harus membela pejabat pemerintah yang terbelit kasus korupsi. Maksud Presiden, barangkali, negara wajib memberikan pembelaan karena pejabat itu belum tentu bersalah. Seperti kata Presiden sendiri, pejabat itu terjerat korupsi lebih karena dia tidak paham praktik korupsi.

Pernyataan itu serta-merta menjadi tidak produktif karena mendistorsi keseriusan Presiden sendiri memberantas korupsi. Apa mau dikata, publik mempersepsi pernyataan itu sebagai sikap Presiden memberi toleransi terhadap kasus korupsi. Presiden dianggap menjadi permisif terhadap tindakan menggarong keuangan negara. Bahkan Presiden dipersepsi seolah-olah menganggap korupsi bukan lagi perbuatan hina dan jahat.

Kegagalan komunikasi seperti itu tak boleh terulang kembali. Ini bukan hanya lantaran sederet kegagalan serupa sudah terjadi sejak awal Presiden Yudhoyono tampil ke tampuk kekuasaan. Lebih dari itu, juga agar energi bangsa bisa dimanfaatkan secara lebih berdaya guna alias tidak justru terkuras oleh kegaduhan-kegaduhan yang tidak perlu akibat kegagalan komunikasi Presiden.

Untuk itu, komunikasi Presiden jangan lagi hanya tertata dan terukur baik dalam gaya atau gesture. Komunikasi Presiden juga sejak awal harus sudah menimbang matang muatan pesan (content) agar tidak membuat bingung atau bahkan meresahkan khalayak sehingga menimbulkan kegaduhan di ranah publik.

Menciptakan suasana masyarakat tenang namun sarat gairah produktif adalah tantangan di pundak pemimpin -- terlebih pemimpin sekelas presiden. Tantangan ini harus disadari benar lewat komunikasi-komunikasi yang efektif dan bernas oleh gagasan.***


Jakarta, 13 Desember 2012