Sebagai pemimpin
nasional, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dituntut memiliki kemampuan
memimpin: mengelola dan menggerakkan segenap potensi bangsa untuk melakukan
pembangunan di segala bidang. Dalam kaitan ini, Presiden mutlak kudu menguasai
kecakapan berkomunikasi.
Tanpa menguasai
kecakapan berkomunikasi, kepemimpinan Presiden niscaya tidak efektif.
Pesan-pesan yang disampaikan bukan hanya bisa sulit dipahami oleh komunikan,
melainkan juga menimbulkan salah persepsi ataupun salah pengertian.
Secara teknis,
kecakapan Presiden Yudhoyono dalam berkomunikasi memang tanpa cela. Dengan
pilihan kata yang selalu terjaga, intonasi yang senantiasa tertata, juga
gesture yang terpola, kemampuan komunikasi Presiden jelas prima dan mempesona.
Terutama saat tampil di podium dalam forum-forum resmi, kecakapan Presiden
dalam berkomunikasi ini tergolong jempolan. Tanpa bergaya meledak-ledak macam
Bung Karno, penampilan Presiden berbicara di podium-podium ini tak gampang
membuat bosan.
Meski begitu,
orasi Presiden Yudhoyono acap mengundang kegaduhan di ruang publik. Karena
pesan yang disampaikan bias atau multitafsir, pidato Presiden tak jarang lantas
menjadi kontroversial. Publik gaduh karena pernyataan Presiden tidak dipersepsi
sesuai dengan pesan yang ingin disampaikan Predisen sendiri. Atau bahkan pesan
itu menimbulkan kebingungan bagi publik.
Tak bisa tidak,
pernyataan Presiden pun menjadi tidak produktif. Artinya, karena pesan tidak
sampai diterima publik sesuai yang dikehendaki, komunikasi Presiden gagal
membangun kepahaman bersama yang justru dibutuhkan sebagai sebuah energi --
entah berupa kesadaran, kognisi, atau bahkan keinginan berbuat.
Contoh aktual
tentang itu, adalah pernyataan Presiden pada peringatan Hari Antikorupsi: negara
harus membela pejabat pemerintah yang terbelit kasus korupsi. Maksud Presiden,
barangkali, negara wajib memberikan pembelaan karena pejabat itu belum tentu
bersalah. Seperti kata Presiden sendiri, pejabat itu terjerat korupsi lebih
karena dia tidak paham praktik korupsi.
Pernyataan itu
serta-merta menjadi tidak produktif karena mendistorsi keseriusan Presiden
sendiri memberantas korupsi. Apa mau dikata, publik mempersepsi pernyataan itu
sebagai sikap Presiden memberi toleransi terhadap kasus korupsi. Presiden
dianggap menjadi permisif terhadap tindakan menggarong keuangan negara. Bahkan
Presiden dipersepsi seolah-olah menganggap korupsi bukan lagi perbuatan hina
dan jahat.
Kegagalan
komunikasi seperti itu tak boleh terulang kembali. Ini bukan hanya lantaran
sederet kegagalan serupa sudah terjadi sejak awal Presiden Yudhoyono tampil ke
tampuk kekuasaan. Lebih dari itu, juga agar energi bangsa bisa dimanfaatkan
secara lebih berdaya guna alias tidak justru terkuras oleh kegaduhan-kegaduhan
yang tidak perlu akibat kegagalan komunikasi Presiden.
Untuk itu,
komunikasi Presiden jangan lagi hanya tertata dan terukur baik dalam gaya atau
gesture. Komunikasi Presiden juga sejak awal harus sudah menimbang matang
muatan pesan (content) agar tidak membuat bingung atau bahkan meresahkan
khalayak sehingga menimbulkan kegaduhan di ranah publik.
Menciptakan
suasana masyarakat tenang namun sarat gairah produktif adalah tantangan di
pundak pemimpin -- terlebih pemimpin sekelas presiden. Tantangan ini harus disadari
benar lewat komunikasi-komunikasi yang efektif dan bernas oleh gagasan.***
Jakarta, 13
Desember 2012