Sindikat perdagangan bayi makin nyata berkeliaran di sekeliling kita. Aksi
mereka juga makin berani, brutal, dan biadab. Mereka bukan lagi sekadar
mengincar bayi dan anak untuk mereka culik dan kemudian mereka perdagangkan.
Bahkan bayi yang masih dalam kandungan ibunya pun kini sudah menjadi incaran
pula.
Kasus di Semarang merupakan bukti nyata tentang itu. Akhir pekan lalu,
seorang ibu hamil tua menjadi korban tindak penculikan. Setelah membius korban,
komplotan penculik memaksa keluar bayi di rahim ibu itu. Lalu orok yang baru
lahir lewat cara paksa itu pun dibawa kabur komplotan penculik. Ibu yang
menjadi korban tindakan biadab itu sendiri lantas ditinggalkan telantar di
pinggir jalan.
Aksi itu jelas pekerjaan sebuah sindikat. Sebagai sindikat, aksi-aksi
mereka terorganisasi. Jaringan mereka juga luas - sampai-sampai institusi resmi
seperti rumah sakit, klinik bersalin, atau yayasan yatim piatu pun secara tidak
langsung bisa menjadi bagian jaringan itu melalui keterlibatan oknum pegawai
mereka.
Nah, di belakang aksi-aksi mereka adalah bisnis ilegal: perdagangan bayi
dan anak. Bisnis itu sendiri digerakkan oleh kebutuhan atau permintaan - entah
berupa adopsi ilegal, eksploitasi kemiskinan di jalanan, perdagangan organ
tubuh, atau praktik prostitusi.
Bisnis perdagangan bayi dan anak itu kini telah tumbuh sedemikian rupa
hingga menyerupai lahan luas dan subur. Paling tidak, itu tecermin dari
aksi-aksi penculikan bayi dan anak yang semakin serius. Komnas Perlindungan
Anak, misalnya, mencatat bahwa tindak penculikan bayi dan anak di Indonesia
dalam beberapa tahun terakhir cenderung terus meningkat. Jika tahun 2008
tercatat sebanyak 72 kasus, tahun 2009 meningkat menjadi 102 kasus. Sementara
sepanjang tahun lalu, menurut sebuah perkiraan, tindak penculikan bayi dan anak
ini mencapai sekitar 140 kasus.
Tak bisa tidak, kita sungguh menjadi miris sekaligus ngeri. Betapa tidak,
karena siapa pun kini bisa mendadak kehilangan bayi atau anak karena diculik
orang - entah secara halus lewat modus klasik berupa penculikan biasa, atau secara
brutal dan biadab seperti kasus di Semarang.
Kita lebih miris lagi karena di tengah maraknya praktik perdagangan bayi
dan anak ini peran negara dalam melindungi warga negara boleh dikatakan absen.
Paling tidak, kita tidak melihat upaya sistematis dan masif dilakukan
pemerintah untuk memberantas praktik perdagangan haram itu. Padahal UU Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jelas-jelas mengamanatkan bahwa sejak
masih di dalam kandungan hingga lahir, anak wajib memperoleh hak perlindungan
secara optimal.
Memang, dalam sejumlah kasus, kepolisian berhasil membongkar praktik
perdagangan bayi dan anak ini. Tetapi bagaimanapun itu lebih terkesan kasuistis
atau sporadis. Artinya, tindakan kepolisian membongkar praktik perdagangan bayi
dan anak itu belum merupakan bagian sebuah perang yang bersifat masif,
sistematis, dan total.
Dengan kata lain, peran kepolisian dalam memberangus praktik perdagangan
bayi dan anak ini masih terkesan setengah hati dan tak menyentuh akar masalah.
Tindakan-tindakan mereka sekadar menapak di permukaan. Itu pun tampaknya lebih
banyak sebagai reaksi atas kasus-kasus kehilangan bayi/anak yang dilaporkan
masyarakat.
Namun, kepolisian tak bisa sepenuhnya disalahkan. Mestinya, upaya
memberantas praktik perdagangan bayi dan anak bukan melulu dipercayakan kepada
kepolisian, melainkan menjadi beban bersama dan terintegrasi seluruh elemen
negara. Lalu program yang digulirkan pun harus berpijak pada rencana aksi yang
nyata, terarah, terukur, sistematis, dan berkesinambungan. Jika tidak, praktik
perdagangan bayi dan anak ini niscaya kian menjadi-jadi, semakin brutal, dan
biadab!***