Kemiskinan di
negara kita ini sudah menjadi penyakit kronis.
Bukan saja tak
kunjung bisa sembuh -- dalam arti hilang sirna secara absolut sesuai parameter
yang disepakati --, melainkan juga masalah kemiskinan ini tak menunjukkan
perubahan berarti ke arah kondisi lebih baik. Kemiskinan terus saja menjadi
realitas yang begitu nyata mewarnai kehidupan kita bersama sebagai bangsa.
Laporan terakhir Badan Pusat Statistik
(BPS) menyebutkan, penurunan angka kemiskinan selama dua triwulan tahun lalu
sangat kecil. Persisnya, penurunan angka kemiskinan itu hanya 0,13 persen.
Penduduk miskin hanya berkurang tak lebih dari 130.000, yaitu dari 30,02 juta
jiwa pada posisi Maret 2011 menjadi 29,89 juta jiwa pada posisi September 2011.
Penurunan jumlah penduduk miskin seperti
itu sungguh bukan prestasi yang layak dibanggakan pemerintah. Ya, dengan angka
penurunan angka kemiskinan yang jauh di bawah 1 persen saja, bagaimana mungkin
itu bisa disebut prestasi gilang gemilang? Bagaimana mungkin itu layak
dibanggakan pemerintah?
Memang, selama ini pemerintah sudah
menggulirkan sejumlah program yang ditujukan kepada kelompok penduduk miskin.
Program-program tersebut, secara ideal, kental mengusung semangat mengangkat
kelompok sasaran dari kubangan kemiskinan.
Tetapi karena kurang dilandasi kesungguhan
dan komitmen terhadap rakyat kecil, program-program pemerintah menyangkut
penanggulangan kemiskinan relatif tak berdaya guna. Aneka program itu sedikit
sekali berdampak signifikan mengikis masalah kemiskinan. Dalam perspektif ini
pula laporan terakhir BPS mengenai kondisi kemiskinan ini harus dilihat dan
dimaknai.
Jadi, karena terutama kurang dilandasi
kesungguhan dan komitmen terhadap nasib rakyat kecil, program-program pemerintah
boleh dibilang tumpul dalam mengikis masalah kemiskinan. Program-program
pemerintah memiliki cacat bawaan sehingga lebih banyak hebat dan agung secara
konseptual.
Nah, cacat bawaan itu sungguh elementer:
konsepsi aneka program pemerintah secara umum tidak bersifat memberdayakan
kemampuan ekonomi kelompok sasaran. Kebanyakan program penanggulangan
kemiskinan sekadar merupakan wahana pelipur lara bagi kaum papa, sekaligus
memberi kesan kepada khalayak luas bahwa pemerintah punya kepedulian terhadap
kelompok penduduk miskin.
Sebut saja program beras murah untuk
rakyat miskin alias raskin. Apakah program tersebut mampu mengikis kemiskinan?
Jelas tidak! Program raskin sekadar membantu rakyat miskin agar tetap bisa
mengonsumsi beras -- betapapun terbatasnya itu, baik secara kuantitatif maupun
kualitatif! Walhasil, meski bertahun-tahun program raskin digulirkan, kelompok
sasaran tetap saja berkubang dalam kemiskinan.
Bahkan program yang tegas mengusung
semangat pemberdayaan kelompok sasaran pun, dalam praktik terbukti mandul. Alih-alih
memberdayakan kemampuan ekonomi, tak jarang ditemukan program itu sekadar
menyenangkan sekaligus memanjakan kaum papa untuk menikmati kesejahteraan semu.
Semu, karena kesejahteraan itu secara absolut tidak memperbaiki derajat
kemiskinan kaum papa.
Dalam banyak kasus, kebijakan pemerintah
juga justru seperti menafikan keinginan mengikis kemiskinan. Selama ini,
pemerintah acap terkesan tutup mata atau bahkan tidak mau tahu soal dampak
negatif suatu kebijakan terhadap nasib rakyat miskin. Dalam konteks itu pula
orang pun lantas mencap pemerintahan kita berwatak neolib -- karena kelewat
liberal sekaligus tidak hirau terhadap rakyat kebanyakan, termasuk kaum papa.
Jadi, kalau paradigma seperti itu tetap
dianut, sampai kapan pun masalah kemiskinan di negeri kita akan tetap menjadi
penyakit kronis.***
Jakarta, 3
Januari 2012