10 Januari 2012

Pembatasan Premium


Rencana pemerintah membatasi penggunaan bahan bakar minyak (BBM) jenis premium mulai 1 April 2012 merupakan bukti nyata kegagalan sekaligus ketidakbecusan pemerintah mengelola kekayaan sumber daya minyak untuk kemakmuran rakyat. Pemerintah tidak berdaya menghadapi harga minyak di pasar dunia yang terus membubung. Alih-alih mendatangkan berkah ekonomi yang mengalirkan kemakmuran bagi masyarakat, kenaikan harga minyak di pasar global malah membuat pemerintah megap-megap menanggung beban subsidi BBM.
      
Betul, kenaikan harga minyak membuat beban subsidi BBM kian membengkak. Namun, mestinya, pembengkakan subsidi BBM ini tetap mampu ditanggung pemerintah kalau saja keuangan negara sehat -- dalam arti pendapatan membanjir, termasuk dari sektor migas. Tetapi, apa mau dikata, pendapatan negara jauh dari optimal. Di sektor migas, khususnya, pendapatan negara jauh tak sebanding dengan potensi yang mestinya bisa ditangguk -- karena produksi minyak tak kunjung mampu ditingkatkan. Sekadar mencapai target minimalis yang tiap tahun ditetapkan dalam APBN saja, produksi minyak kita ini gagal total.
      
Sumbu masalah itu, sekali lagi, adalah ketidakbecusan pemerintah mengelola sumber daya minyak. Berbagai potensi ladang minyak gagal dikelola menjadi sumber produksi BBM yang melimpah. Produksi minyak kita lebih banyak diandalkan pada sumur-sumur yang sudah tua dan tidak efisien lagi. Sementara potensi ladang-ladang baru sedikit sekali bisa dieksploitasi karena kegiatan investasi telanjur lesu darah. Investor ogah-ogahan melakukan eksplorasi dan eksploitasi di ladang-ladang baru karena iklim investasi tidak kondusif. Lagi-lagi itu juga karena pemerintah tak becus membenahi iklim investasi di sektor migas.
      
Karena itu, menghadapi harga minyak yang terus membubung, dan di sisi lain konsumsi BBM di dalam negeri juga terus menanjak, pemerintah seperti tak punya pilihan lain kecuali berupaya menekan subsidi BBM. Tetapi langkah yang ditempuh bukan memangkas langsung subsidi itu dengan menaikkan harga BBM jenis premium yang selama ini memang disubsidi, melainkan mengondisikan masyarakat pemilik mobil pribadi beralih menggunakan BBM nonsubsidi mulai 1 April 2012.
      
Boleh jadi, langkah itu menjadi pilihan karena pemerintah tak siap mendadak tidak populer di mata rakyat. Pemerintah tampaknya sengaja menghindari langkah menaikkan harga premium karena sadar betul bahwa rakyat akan kecewa atau bahkan marah. Maklum, karena pucuk pemerintahan jauh hari telanjur menebar angin surga: tak hendak menaikkan harga BBM.
      
Tetapi kenaikan harga premium sebenarnya lebih aman secara ekonomi ketimbang mengondisikan pemakaian BBM nonsubsidi. Dalam konteks ini, kalangan ekonom meyakini bahwa dampak kenaikan harga premium terhadap laju inflasi relatif lebih kecil dibanding memaksa masyarakat menggunakan BBM nonsubsidi. Tentu itu dengan asumsi bahwa harga premium hanya dinaikkan hingga ke tingkat tertentu yang terbilang wajar tapi berdampak relatif signifikan mengurangi beban subsidi BBM.
      
Dampak inflatoar kenaikan harga premium relatif lebih kecil  karena harga BBM nonsubsidi sendiri sekarang ini hampir dua kali lipat harga premium. Karena itu, memaksa masyarakat mengonsumsi BBM nonsubsidi justru bisa berdampak memicu inflasi dalam dosis tinggi.
      
Di sisi lain, pengondisian penggunaan BBM nonsubsidi juga menuntut kesiapan infrastruktur yang tidak mudah dan niscaya mahal. Belum lagi pilihan tentang itu juga punya potensi besar mengalami penyelewengan di lapangan.
      
Jadi, opsi pembatasan penggunaan premium hanya akan menambah panjang daftar kegagalan pemerintah mengelola kebijakan di sektor migas.***

 Jakarta, 10 Januari 2012