04 Januari 2012

Penyakit Kronis Kemiskinan


Kemiskinan di negara kita ini sudah menjadi penyakit kronis. Bukan saja tak kunjung bisa sembuh -- dalam arti hilang sirna secara absolut sesuai parameter yang disepakati - -, melainkan juga masalah kemiskinan ini tak menunjukkan perubahan berarti ke arah kondisi lebih baik. Kemiskinan terus saja menjadi realitas yang begitu nyata mewarnai kehidupan kita bersama sebagai bangsa.

Laporan terakhir Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, penurunan angka kemiskinan selama dua triwulan tahun lalu sangat kecil. Persisnya, penurunan angka kemiskinan itu hanya 0,13 persen. Penduduk miskin hanya berkurang tak lebih dari 130.000, yaitu dari 30,02 juta jiwa pada posisi Maret 2011 menjadi 29,89 juta jiwa pada posisi September 2011.

Penurunan jumlah penduduk miskin seperti itu sungguh bukan prestasi yang layak dibanggakan pemerintah. Ya, dengan angka penurunan angka kemiskinan yang jauh di bawah 1 persen saja, bagaimana mungkin itu bisa disebut prestasi gilang gemilang? Bagaimana mungkin itu layak dibanggakan pemerintah?

Memang, selama ini pemerintah sudah menggulirkan sejumlah program yang ditujukan kepada kelompok penduduk miskin. Program-program tersebut, secara ideal, kental mengusung semangat mengangkat kelompok sasaran dari kubangan kemiskinan.

Tetapi karena kurang dilandasi kesungguhan dan komitmen terhadap rakyat kecil, program-program pemerintah menyangkut penanggulangan kemiskinan relatif tak berdaya guna. Aneka program itu sedikit sekali berdampak signifikan mengikis masalah kemiskinan. Dalam perspektif ini pula laporan terakhir BPS mengenai kondisi kemiskinan ini harus dilihat dan dimaknai.

Jadi, karena terutama kurang dilandasi kesungguhan dan komitmen terhadap nasib rakyat kecil, program-program pemerintah boleh dibilang tumpul dalam mengikis masalah kemiskinan. Program-program pemerintah memiliki cacat bawaan sehingga lebih banyak hebat dan agung secara konseptual.

Nah, cacat bawaan itu sungguh elementer: konsepsi aneka program pemerintah secara umum tidak bersifat memberdayakan kemampuan ekonomi kelompok sasaran. Kebanyakan program penanggulangan kemiskinan sekadar merupakan wahana pelipur lara bagi kaum papa, sekaligus memberi kesan kepada khalayak luas bahwa pemerintah punya kepedulian terhadap kelompok penduduk miskin.

Sebut saja program beras murah untuk rakyat miskin alias raskin. Apakah program tersebut mampu mengikis kemiskinan? Jelas tidak! Program raskin sekadar membantu rakyat miskin agar tetap bisa mengonsumsi beras - betapapun terbatasnya itu, baik secara kuantitatif maupun kualitatif! Walhasil, meski bertahun-tahun program raskin digulirkan, kelompok sasaran tetap saja berkubang dalam kemiskinan.

Bahkan program yang tegas mengusung semangat pemberdayaan kelompok sasaran pun, dalam praktik terbukti mandul. Alih-alih memberdayakan kemampuan ekonomi, tak jarang ditemukan program itu sekadar menyenangkan sekaligus memanjakan kaum papa untuk menikmati kesejahteraan semu. Semu karena kesejahteraan itu secara absolut tidak memperbaiki derajat kemiskinan kaum papa.

Dalam banyak kasus, kebijakan pemerintah juga justru seperti menafikan keinginan mengikis kemiskinan. Selama ini, pemerintah acap terkesan tutup mata atau bahkan tidak mau tahu soal dampak negatif suatu kebijakan terhadap nasib rakyat miskin. Dalam konteks itu pula orang pun lantas mengecap pemerintahan kita berwatak neolib - karena kelewat liberal sekaligus tidak hirau terhadap rakyat kebanyakan, termasuk kaum papa.

Jadi, kalau paradigma seperti itu tetap dianut, sampai kapan pun masalah kemiskinan di negeri kita akan tetap menjadi penyakit kronis.***