12 Januari 2012

Demo Heroik Buruh


Aksi demo massa di Jakarta, kemarin, sungguh terasa membetot perhatian. Pertama, karena aksi tersebut melibatkan kelompok-kelompok sosial yang selama ini tergolong marginal atau terpinggirkan: petani, nelayan, dan buruh sekaligus. Kedua, aksi tersebut juga terbilang masif. Konon, didukung tak kurang dari 77 organisasi dan lembaga swadaya masyarakat yang bersinggungan dengan kepentingan buruh-petani-nelayan, ribuan massa pendemo tumpah-ruah ke jalan. Dengan semangat heroik, aksi mereka di depan Istana Negara maupun di depan Gedung DPR tak pelak merepotkan aparat keamanan.
      
Ketiga, aksi demo itu juga membetot perhatian karena kepentingan yang diusung merupakan isu mendasar: pemulihan hak-hak rakyat atas sumber daya penghidupan, khususnya lahan dan air, serta keadilan sistem ekonomi. Mereka menuntut reformasi agraria -- antara lain berupa pencabutan lima undang-undang yang mereka anggap sangat merugikan kepentingan mereka.
      
Lima undang-undang itu -- UU Perkebunan, UU Sumber Daya Air, UU Kehutanan, UU Mineral dan Batubara, serta UU Penanaman Modal -- selama ini membuat petani-nelayan-buruh kian termarginalisasi. Mereka menilai kelima undang-undang itu selama ini cenderung menempatkan mereka terkooptasi sekaligus terpinggirkan oleh kekuatan korporasi. Di bawah kelima undang-undang itu, hak-hak mereka atas sumber daya penghidupan secara sistematis terpreteli.
      
Karena itu, sekali lagi, aksi demo petani-nelayan-buruh kemarin terasa membetot perhatian. Terlebih lagi aksi tersebut tak hanya digelar di ibukota negara, Jakarta. Di sejumlah daerah pun, konon, aksi serupa digelar pula dengan tak kalah masif dan heroik.
      
Sejatinya, petani-nelayan-buruh adalah juga komponen bangsa. Karena itu, tentu mereka pun patut ikut menikmati hak-hak atas segala sumber daya penghidupan di negara kita secara layak.
      
Selama ini, patut diakui, kelompok petani-nelayan-buruh
cenderung diperlakukan bak sekadar penggembira kegiatan ekonomi. Atau, dalam banyak kasus, mereka bahkan dipaksa menjadi tumbal pembangunan. Hak-hak mereka atas sumber daya ekonomi dipreteli dan dimarginalisasi sedemikian rupa atas nama kepentingan pembangunan dan stabilitas keamanan. Itu tak hanya di masa pemerintahan represif-otoriter, tetapi bahkan di masa orde reformasi sekarang ini.
      
Dalam konteks itu, sistem ekonomi di negeri kita sama sekali tak memihak kelompok rakyat kecil seperti petani-nelayan-buruh. Sistem ekonomi lebih condong mengakomodasi kepentingan korporasi. Berbagai produk undang-undang juga seperti melupakan fungsi perlindungan hak-hak rakyat.
      
Itu pula yang membuat penguasa dan korporasi acap terkesan begitu gampang dan leluasa berselingkuh menafikan sekaligus meminggirkan hak-hak rakyat kecil atas sumber-sumber penghidupan. Praktik perampasan tanah dan sumber-sumber lain penghidupan rakyat begitu sering terjadi dengan dilatari perselingkuhan itu. Dalam rangka mengakomodasi kepentingan korporasi, penguasa tak malu-malu menggunakan aparat kemananan untuk menangkap, menyiksa, atau bahkan membunuh rakyat yang dianggap menghalangi kepentingan korporasi. Semua dilakukan dengan jubah dan topeng pembangunan.
      
Karena itu, daftar konflik agraria kini menggunung. Namun kelompok petani-nelayan-buruh sendiri tampaknya makin sadar sekaligus kian memiliki keberanian untuk bangkit menuntut hak-hak mereka yang telanjur terenggut sistem kekuasaan secara tidak adil.
      
Mestinya pemerintah maupun wakil-wakil rakyat di parlemen tergugah. Mereka harus bisa segera mengakhiri segala bentuk perselingkuhan yang membuat rakyat kecil kehilangan hak-hak atas sumber penghidupan. Mereka harus segera menghentikan segala rupa kesewenangan yang membuat rakyat kecil terpinggirkan dan termarginalisasi. Sekali lagi, karena rakyat kecil juga adalah komponen bangsa. Mereka bukan penggembira atau apalagi tumbal pembangunan.***

Jakarta, 12 Januari 2012