Aksi demo massa
di Jakarta, kemarin, sungguh terasa membetot perhatian. Pertama, karena aksi
tersebut melibatkan kelompok-kelompok sosial yang selama ini tergolong marginal
atau terpinggirkan: petani, nelayan, dan buruh sekaligus. Kedua, aksi tersebut
juga terbilang masif. Konon, didukung tak kurang dari 77 organisasi dan lembaga
swadaya masyarakat yang bersinggungan dengan kepentingan buruh-petani-nelayan,
ribuan massa pendemo tumpah-ruah ke jalan. Dengan semangat heroik, aksi mereka
di depan Istana Negara maupun di depan Gedung DPR tak pelak merepotkan aparat
keamanan.
Ketiga, aksi demo itu juga membetot
perhatian karena kepentingan yang diusung merupakan isu mendasar: pemulihan
hak-hak rakyat atas sumber daya penghidupan, khususnya lahan dan air, serta
keadilan sistem ekonomi. Mereka menuntut reformasi agraria -- antara lain
berupa pencabutan lima undang-undang yang mereka anggap sangat merugikan
kepentingan mereka.
Lima undang-undang itu -- UU Perkebunan,
UU Sumber Daya Air, UU Kehutanan, UU Mineral dan Batubara, serta UU Penanaman
Modal -- selama ini membuat petani-nelayan-buruh kian termarginalisasi. Mereka
menilai kelima undang-undang itu selama ini cenderung menempatkan mereka
terkooptasi sekaligus terpinggirkan oleh kekuatan korporasi. Di bawah kelima
undang-undang itu, hak-hak mereka atas sumber daya penghidupan secara
sistematis terpreteli.
Karena itu, sekali lagi, aksi demo
petani-nelayan-buruh kemarin terasa membetot perhatian. Terlebih lagi aksi
tersebut tak hanya digelar di ibukota negara, Jakarta. Di sejumlah daerah pun,
konon, aksi serupa digelar pula dengan tak kalah masif dan heroik.
Sejatinya, petani-nelayan-buruh adalah
juga komponen bangsa. Karena itu, tentu mereka pun patut ikut menikmati hak-hak
atas segala sumber daya penghidupan di negara kita secara layak.
Selama ini, patut diakui, kelompok
petani-nelayan-buruh
cenderung
diperlakukan bak sekadar penggembira kegiatan ekonomi. Atau, dalam banyak
kasus, mereka bahkan dipaksa menjadi tumbal pembangunan. Hak-hak mereka atas
sumber daya ekonomi dipreteli dan dimarginalisasi sedemikian rupa atas nama
kepentingan pembangunan dan stabilitas keamanan. Itu tak hanya di masa
pemerintahan represif-otoriter, tetapi bahkan di masa orde reformasi sekarang
ini.
Dalam konteks itu, sistem ekonomi di
negeri kita sama sekali tak memihak kelompok rakyat kecil seperti
petani-nelayan-buruh. Sistem ekonomi lebih condong mengakomodasi kepentingan
korporasi. Berbagai produk undang-undang juga seperti melupakan fungsi
perlindungan hak-hak rakyat.
Itu pula yang membuat penguasa dan
korporasi acap terkesan begitu gampang dan leluasa berselingkuh menafikan
sekaligus meminggirkan hak-hak rakyat kecil atas sumber-sumber penghidupan.
Praktik perampasan tanah dan sumber-sumber lain penghidupan rakyat begitu
sering terjadi dengan dilatari perselingkuhan itu. Dalam rangka mengakomodasi
kepentingan korporasi, penguasa tak malu-malu menggunakan aparat kemananan
untuk menangkap, menyiksa, atau bahkan membunuh rakyat yang dianggap
menghalangi kepentingan korporasi. Semua dilakukan dengan jubah dan topeng
pembangunan.
Karena itu, daftar konflik agraria kini
menggunung. Namun kelompok petani-nelayan-buruh sendiri tampaknya makin sadar
sekaligus kian memiliki keberanian untuk bangkit menuntut hak-hak mereka yang
telanjur terenggut sistem kekuasaan secara tidak adil.
Mestinya pemerintah maupun wakil-wakil
rakyat di parlemen tergugah. Mereka harus bisa segera mengakhiri segala bentuk
perselingkuhan yang membuat rakyat kecil kehilangan hak-hak atas sumber
penghidupan. Mereka harus segera menghentikan segala rupa kesewenangan yang
membuat rakyat kecil terpinggirkan dan termarginalisasi. Sekali lagi, karena
rakyat kecil juga adalah komponen bangsa. Mereka bukan penggembira atau apalagi
tumbal pembangunan.***
Jakarta, 12
Januari 2012