23 Mei 2003

Nasib Industri Kehutanan

Rencana karya tahunan (RKT) alias jatah tebangan kayu gelondongan tahun depan diturunkan lagi menjadi 5,7 juta kubik. Apa artinya? Industri pengolahan kayu jelas akan makin megap-megap kesulitan memperoleh bahan baku! Sangat mungkin
daftar industri yang tutup akan menjadi kian banyak. Mereka tak mampu lagi terus berhatan beroperasi karena pasokan bahan baku tak lagi bisa mereka peroleh.

Bagi industri pengolahan kayu, penciutan RKT menjadi 5,7 juta kubik memang amat menyesakkan -- bahkan mematikan. Jangankan hanya 5,7 juta kubik, bahkan dengan RKT sebanyak 6,8 juta kubik tahun ini pun kondisi yang menyesakkan itu sudah sangat terasa. Maklum karena angka-angka itu jauh di bawah kapasitas terpasang industri pengolahan kayu sebanyak
36,7 juta kubik dengan tingkat kebutuhan bahan baku sebanyak 63,5 juta kubik per tahun.

Selama dua tahun terakhir, pemerintah memang terus menurunkan RKT secara drastis. Pada tahun 2001, RKT ini masih lumayan tinggi: 21 juta kubik. Tapi setahun kemudian, angka tersebut diturunkan drastis menjadi 12 juta kubik. Lalu tahun ini, RKT diciutkan lagi menjadi 6,8 juta kubik. Tahun depan, angka itu ternyata masih dibuat semakin susut menjadi 5,7 juta kubik.

Karena itu, tak sulit membayangkan bagaimana industri pengolahan kayu dibuat megap-megap kesulitan memperoleh bahan baku. Tak sulit pula memahami kenyataan bahwa satu demi satu industri pengolahan kayu ini terus berguguran tak mampu bertahan hidup.

Entah berapa banyak industri yang sudah gulung tikar gara-gara tak bisa memperoleh pasokan bahan baku ini. Tapi, menurut catatan terakhir, jumlah industri pengolahan kayu nasional mencapai 1.881 unit. Mereka pula yang di masa lalu berperan demikian mengesankan dalam menyumbang perolehan devisa negara: menjadi kedua terbesar setelah industri tekstil dan produk tekstil.

Kejayaan industri pengolahan kayu memang sudah berlalu. Jangankan mampu memberi kontribusi signifikan terhadap perolehan devisa negara seperti di masa lalu, bahkan sekadar untuk bertahan hidup pun kini mereka sudah amat kesulitan. Terlebih harga produk kayu olahan di pasar ekspor -- terutama kayu lapis (plywood) -- kini amat terpuruk dan sulit diharap bisa bangkit gemerlap seperti di masa lalu.

Rencana penurunan RKT sendiri merupakan kebijakan lebih jauh yang digariskan Menhut Muhammad Prakosa dalam rangka soft landing di bidang kehutanan guna mengurangi tekanan terhadap hutan alam. Dengan RKT yang dibuat kian jauh di bawah kebutuhan industri pengolahan kayu, potensi hutan alam yang tersisa diharapkan bisa dikelola secara berkelanjutan.

Kita setuju bahwa sumberdaya hutan harus terjamin lestari. Sumberdaya hutan memang harus dikelola berkelanjutan. Terlebih hutan alam kita telanjur rusak parah akibat kiprah jajaran pemegang HPH di masa lalu tak mengindahkan ketentuan yang menjamin kelestarian sumberdaya hutan, di samping akibat tindak penebangan liar (illegal logging) yang demikian marak sejak reformasi bergulir.

Tetapi ketika langkah penyelamatan sumberdaya hutan ini ternyata ditempuh pemerintah dengan menurunkan RKT secara drastis, kita jadi terperangah. Itu tadi, karena penurunan RKT serta-merta menorehkan kesadaran bahwa industri pengolahan kayu harus berguguran. Terlebih karena kebijakan tersebut juga ternyata -- pelan tapi pasti -- dibarengi dengan pencabutan izin HPH yang digenggam perusahaan-perusahaan bermasalah berdasarkan hasil audit.

Padahal, di lain pihak, sejauh ini kita belum memperoleh data meyakinkan bahwa tekanan terhadap hutan alam sekarang ini sudah jauh menurun. Bahkan, seperti kata pelaku industri pengolahan kayu, penurunan RKT maupun pencabutan izin HPH malah kian menyuburkan tindak penebangan liar. Dalam konteks ini, boleh jadi benar, ada saja industri yang nekad memanfaatkan kayu ilegal hasil penebangan liar.

Sementara itu, bergugurannya industri pengolahan kayu maupun pencabutan izin HPH jelas berdampak serius. Yang segera tertoreh dan amat gampang terlihat saja: tindak pemutusan kerja (PHK) mustahil bisa dihindari. Sekian banyak tenaga kerja di perusahaan-perusahaan HPH maupun industri pengolahan kayu jelas harus terkena PHK ini. Kenyataan tersebut serta-merta berimbas terhadap angka pengangguran. Padahal pengangguran yang selama ini ada pun sudah demikian menggunung dan amat sulit bisa diatasi.

Di lain pihak, agaknya, kebijakan restrukturisasi industri kehutanan yang sekarang ini dilakukan pemerintah malah menjadi disinsentif terhadap iklim investasi nasional. Terutama kalangan pemilik modal asing, dalam kaitan ini, barangkali memperoleh kesan bahwa kegiatan investasi di Indonesia sarat risiko ketidakpastian regulasi atau kebijakan. Padahal kehadiran investor justru amat dibutuhkan sebagai solusi strategis atas masalah pengangguran yang saat ini sudah terbilang mencemaskan.

Karena itu, konsep strategi restrukturisasi industri kehutanan ini mungkin perlu dirumuskan lagi. Dalam konteks ini, implikasi-implikasi sosial-ekonomi perlu diperhitungkan kembali. Pemerintah tak sepatutnya menutup mata dan telinga.***

Jakarta, 23 Mei 2003

Tidak ada komentar: