09 Mei 2003

Efektivitas Pembebasan PPN

Kebijakan menghapus pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) atas barang modal dan peralatan pabrik mungkin merupakan salah satu langkah pemerintah dalam rangka mewujudkan tahun ini sebagai Tahun Investasi yang dicanangkan Presiden Megawati Seokarnoputri. Kebijakan tersebut jelas positif. Paling tidak, kebijakan itu menunjukkan keinginan baik (good will) pemerintah untuk memperbaiki iklim investasi di dalam negeri. Dengan kebijakan itu, kalangan investor diharapkan lebih tergerak dan bergairah menanam modal di negeri kita ini.

Kegiatan investasi di dalam negeri sejak beberapa tahun terakhir memang mengalami lesu darah. Investor enggan datang untuk menabur modal. Bahkan investor yang sudah sekian lama mapan berusaha di sini pun, satu-dua malah memilih hengkang. Mereka memilih pindah ke negeri lain.

Di atas kertas, angka-angka persetujuan investasi memang relatif masih memberikan gambaran lumayan bagus. Angka-angka persetujuan investasi yang diberikan pemerintah mengesankan bahwa kalangan investor asing, terutama, masih memiliki cukup minat menabur modal di sini.

Tapi ketika kita lihat angka-angka realisasi, gambaran itu ternyata menyesatkan. Angka realisasi investasi ternyata amat jauh di bawah nilai yang disetujui pemerintah. Artinya, banyak proyek investasi yang disetujui pemerintah ternyata tak kunjung dilaksanakan. Kalangan investor, dalam kaitan ini, seolah tak serius. Mereka terkesan tak sungguh-sungguh berniat menanam modal.

Kini, dengan insentif penghapusan pengenaan PPN atas barang modal dan peralatan pabrik, kalangan investor diharapkan lebih serius. Teoritis, insentif ini bukan hanya bisa membuat mereka yang sudah memperoleh persetujuan tergerak merealisasikan proyek investasi. Mereka yang selama ini tidak atau kurang tertarik menabur investasi di negeri kita juga bisa diharapkan berubah pikiran: tergoda untuk menggarap proyek penanaman modal.

Karena itu pula bisa dipahami ketika insentif penghapusan pengenaan PPN atas barang modal dan peralatan pabrik ini diusulkan pemerintah, DPR langsung memberikan persetujuan. Tak seperti biasa, perdebatan alot dan melelahkan tak sampai terjadi. Justru itu, pemerintah tak perlu menguras banyak pikiran untuk meyakinkan kalangan anggota DPR mengenai arti strategis kebijakan itu. Tampaknya, kalangan anggota DPR sudah memahami benar substansi persoalan. Bahkan, boleh jadi, sejak lama mereka menunggu terobosan seperti itu.

Menurut perhitungan, insentif penghapusan pengenaan PPN atas barang modal dan peralatan pabrik ini membuat negara mengalami potensi kehilangan penerimaan pajak lumayan signifikan. Untuk tahun ini saja, potensi kehilangan penerimaan ini bernilai sekitar Rp 1,8 triliun.

Tapi tak apa. Toh dengan itu kegiatan investasi di dalam negeri sangat bisa diharapkan segera meningkat. Dengan itu pula, pada gilirannya, potensi kehilangan penerimaan pajak bisa terkompensasi dengan angka yang mungkin jauh lebih besar.

Tetapi, bagaimanapun, itu baru asumsi. Bahwa penghapusan PPN atas barang modal dan peralatan pabrik ini bakal mendorong kegiatan investasi baru merupakan hipotesis. Baru teori. Kalangan pemilik modal belum tentu tertarik oleh insentif pembebasan PPN ini.

Dengan kata lain, kebijakan itu belum tentu benar-benar efektif menjadi solusi atas kelesuan investasi di negeri kita. Toh, patut kita akui, kelesuan investasi ini bukan semata karena soal insentif -- apalagi sekadar insentif pembebasan pengenaan PPN atas barang modal dan peralatan pabrik. Bagaimanapun, akar masalah kelesuan investasi ini tidak sesederhana itu. Masalah tersebut begitu kompleks dan mendasar. Juga tidak semata berada dalam kerangka ekonomi, melainkan bertali-temali pula dengan persoalan sosial, politik, juga hukum.

Secara ringkas, seperti sudah sering dikeluhkan dunia usaha, kompleksitas masalah investasi di negeri kita ini merujuk pada ketidakpastian hukum dan aturan main atau kebijakan usaha, jaminan keamanan yang tidak meyakinkan, pelayanan birokrasi yang tidak efisien dan mahal, kebijakan antarsektor atau antarinstansi yang tidak harmonis, iklim perburuhan yang kurang bersahabat, situasi politik yang tak selalu adem, juga insentif-insentif ekonomi yang sudah kalah menarik dibanding negara-negara lain.

Jadi, sebetulnya, insentif perpajakan hanya satu aspek kecil di antara tumpukan masalah yang membuat iklim investasi di negeri kita tak menggairahkan. Justru itu, mengandaikan kebijakan fiskal semata sebagai solusi -- apalagi itu pun hanya dalam lingkup terbatas -- jelas keliru.

Sejak presiden mencanangkan tahun ini sebagai Tahun Investasi, sebenarnya kita berharap pemerintah mengeluarkan kebijakan yang benar-benar komprehensif dan mendasar. Tapi tanda-tanda ke arah itu tak kunjung terlihat. Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, seperti pembebasan pengenaan PPN barang modal itu, ternyata masih saja parsial dan dicicil-cicil. Karena itu, beralasan kita meragukan bahwa tahun ini bisa terwujud menjadi Tahun Investasi.***

Jakarta, 9 Mei 2003

Tidak ada komentar: