20 Mei 2003

Gubernur Baru BI

Burhanuddin Abdullah sejak kemarin resmi menggantikan Syahril Sabirin sebagai Gubernur Bank Indonesia (BI). Kini tinggal bagaimana Burhanuddin menjawab setumpuk harapan banyak pihak mengenai kehidupan ekonomi-moneter kita. Masyarakat amat menantikan program konkret Burhanuddin dalam waktu dekat ini.

Harapan atau bahkan tuntutan masyarakat terhadap pejabat publik baru -- terlebih terhadap Gubernur BI -- adalah wajar. Atau malah mungkin keharusan: pertanda kita masih merasa memiliki masa depan. Terlebih, memang, krisis ekonomi yang menerpa kita sejak lima tahun silam belum benar-benar sirna. Sebagai salah satu pilar ekonomi nasional, BI pun amat diharapkan masyarakat mampu menghembuskan gairah baru nan segar dan membuat krisis makin cepat terkikis habis.

Memang, saat menjalani uji kepantasan dan kepatutan (fit and proper test) di Komisi IX DPR, pekan lalu, Burhanuddin sendiri sudah membeberkan program kerja yang akan dia luncurkan sebagai orang nomor satu di BI ini. Bahkan paparan itu pula -- di samping penilaian positif atas aspek integritas dan moralitas pribadi -- yang mengantarkan Burhanuddin tampil terpilih sebagai pengganti Syahril, menyisihkan dua calon lain yang diajukan presiden ke DPR: Miranda S Goeltom dan Cyrillus Harinowo.

Tetapi, bagaimanapun, paparan program Burhanuddin saat menjalani fit and proper test di DPR itu masih membutuhkan penjabaran hingga menjadi lebih tajam dan konkret. Itu yang amat diharapkan dan dinantikan masyarakat, terutama menyangkut kenyataan-kenyataan yang terasa membutuhkan penanganan segera. Sebut saja soal fungsi intermediasi perbankan ataupun program pascakontrak Dana Moneter Internasional (IMF) yang sudah pasti berakhir di penghujung tahun ini.

Patut kita akui, Burhanuddin relatif diuntungkan oleh sejumlah tonggak yang sudah diletakkan Syahril. Laju inflasi, misalnya, sudah relatif terkendali di level lumayan rendah. Jika pada tahun 2001 masih 12,6 persen, tahun lalu laju inflasi ini sudah terseret turun menjadi 10,03 persen.

Begitu juga nilai tukar rupiah: kini bergerak dalam kisaran stabil di level Rp 8.500 hingga Rp 9.000 per dolar AS. Di lain pihak, tingkat sukubunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) juga sudah turun signifikan ke level yang terbilang relatif rendah: dari 17,5 persen pada posisi Januari 2002 menjadi di bawah 11 persen sekarang ini.

Walhasil, untuk sejumlah segi, langkah Burhanuddin menakhodai BI bisa lebih ringan. Tinggal bagaimana kondisi-kondisi yang sudah diletakkan Syahril bisa dia pelihara menjadi lebih baik dan kian kondusif bagi kehidupan ekonomi nasional. Penurunan tingkat sukubunga SBI, misalnya, masih terasa seperti anomali: tak serta-merta membuat sukubunga perbankan nasional melorot turun signifikan pula.

Di sisi lain, penurunan tingkat sukubunga SBI ini juga ternyata tak otomatis mendorong fungsi intermediasi perbankan menjadi lebih mulus. Kita melihat kesan, bank-bank masih saja cenderung enggan menggelontorkan kredit. Ekspansi yang mereka perlihatkan, sejauh ini lebih mengarah ke sektor konsumsi. Sementara sektor riil tetap megap-megap menantikan kucuran pinjaman.

Akibatnya, geliat sektor riil belum juga tersulut lagi. Sejak krisis menerpa, sektor riil praktis merana karena kesulitan memperoleh dukungan pembiayaan. Padahal, teoritis, penurunan sukubunga SBI serta-merta mendorong perbankan melakukan ekspansi kredit ke sektor riil.

Di luar program-program yang merujuk pada upaya menyempurnakan apa yang sudah dicapai Syahril, Burhanuddin juga harus menghadapi tantangan lain yang jauh lebih krusial dan mendesak. Tantangan tersebut terutama terkait dengan situasi dan kondisi pascakontrak IMF. Ada kekhawatiran bahwa kondisi tersebut demikian buruk karena kepercayaan publik, terutama pelaku pasar uang dan pasar modal, terhadap ekonomi nasional bisa tiba-tiba rontok kalau saja strategi atau program (exit plan) yang disiapkan pemerintah tak meyakinkan.

Kekhawatiran itu makin beralasan bila utang kita pada IMF ternyata langsung dilunasi pemerintah seiring berakhirnya kontrak kerja sama. Itu akan serta-merta membuat cadangan devisa seketika surut dari 33 miliar dolar AS saat ini menjadi tinggal 22 miliar dolar AS. Padahal, sebagai konsekuensi habis kontrak dengan IMF, kita juga tak bisa lagi memperoleh penjadwalan (rescheduling) utang pada donor lain melalui forum Paris Club.

Artinya, cadangan devisa yang sudah surut mendadak masih pula digerogoti untuk mencicil utang dalam jumlah lumayan besar. Sementara prospek ekspor tak terbilang kemilau. Seiring aksi terorisme yang kian menyebar ke berbagai sudut dunia, juga tekanan masalah penyakit pernapasan sangat akut (SARS) yang semakin mencemaskan masyarakat internasional, situasi pasar ekspor membuat kita sulit berharap bisa menangguk banyak devisa.

Karena itu, masyarakat amat menantikan program konkret Burhanuddin untuk menghadapi situasi dan kondisi pascakontrak IMF ini. Bersama exit plan yang disusun pemerintah, program jangka pendek BI sangat diharapkan mampu membuat situasi dan kondisi pascakontrak IMF tak menghentak dan membuat panik.***

Jakarta, 20 Mei 2003

Tidak ada komentar: